Selingan

Suroso

Tidak tahu berapa usia Suroso, tentu lebih dari 80 tahun. Badannya tidak lagi sekuat masa muda yang trampil memanjat kelapa atau membantu tetangga bekerja di sawah. Setelah badannya tua dan ringkih, ia hanya membantu membelah kayu bakar, itupun ia lakukan sambil duduk.

Suroso lahir tidak sempurna. Kecerdasannya tidak berkembang. Kekuatan ketrampilan fisiknya mengimbangi kekurangan mentalnya. Suroso tidak gila, IQ nya yang kurang normal. Ia baik dan menerima berapapun upah atas tenaganya. Ia hanya mengangkat kayu menakut-nakuti anak-anak kecil yang melemparinya batu.

Suroso pendiam. Tidak banyak bicara, saya malah belum pernah mendengar ia berbicara. Kadang, ia hanya berdiri saja dihalaman rumah orang dengan pandangan kosong. Orang tahu dia lapar, orang pun memberi makan atau uang. Dan ia menggunggam, matur nuwun dan pergi tanpa bicara.

Suroso mengenal uang dari warnanya, hijau, merah, biru, namun ia tidak mengenal angka nominalnya. Ia hanya tahu kertas ini bisa ditukar makanan ke warung. Pikirannya tidak sampai kesana. Pemilik warung yang memberi kembalian untuk penganan yang di tunjuknya.

Kadang-kadang saya melihat dia ikut sholat berjama’ah di mushola, walau sholatnya tidak sempurna. Sering kali ia mendahului imam rukuk atau sujud. Tapi semua maklum, begitulah Suroso. Dia bersaudara 4 orang, tapi 2 orang saudaranya lama meninggal karena kecelakaan. Satu-satunya saudaranya tinggal di dusun tetangga, tapi hidup jauh dari cukup, Suroso yang sering memberinya uang.

Pak Sosial, yang juga Tanwir mushola berbaik hati menampung Suroso. Disediakannya sebuah kamar untuk tinggal Suroso dan itu sudah berjalan lebih sekitar lima puluh tahun. Untung ada pak Sosial, begitu orang kampung memanggilnya, kalau tidak Suroso tentu jadi gelandangan.

Sejak Jum’at yang lalu, Suroso tidak keluar seperti biasanya. Ia hanya terbaring saja di kamar. Sakit. Pak Sosial-lah yang mengurusnya semua keperluannya. Tubuhnya yang tua ringkih, sudah tidak mampu lagi menahan rohnya dan hari Minggu sore, Suroso meninggal….

Suroso diciptakan Allah tentu untuk suatu maksud. Allah pula yang memanggilnya. Tugasnya di dunia selesai. Tentu Allah menciptakan Suroso bukan sekedar pemanjat kelapa atau buruh upah mencangkul sawah. Mungkin Suroso mengajari kita bersyukur, sekalipun banyak kekurangan, tapi kita lebih beruntung dari Suroso. Kita punya kerabat, anak atau cucu. Suroso tidak.

Suroso warga kecil yang tersisih, saat wafat ia melebihi pejabat. Sejak malam, orang melayat berduyun. Halaman depan rumah pak Sosial berdiri tenda lebar dengan ratusan kursi plastic. Tetangganya seakan berlomba menyumbang uang, beras bahkan ayam. Ibu-ibu bawa pisau ikut “rewang” masak di dapur bu Sosial.
Senin pagi jam 10:00 Suroso di makamkan di makam dusun, dengan iringan penduduk yang panjang. Sorenya, kami, seluruh penduduk kampung menerima kiriman berkat berisi nasi, ayam, sambel
goreng kentang, kerupuk udang dan lauk lainnya.

Suroso mengajarkan saya, sekalipun orang kecil, Suroso wafat dengan “mewah”. Semoga Allah mengampuni dosanya, kalaupun ada, menerima semua amalnya yang berlimpah, melapangkan kuburnya, menjauhkan siksa kubur dan membuka pintu surga buat Suroso. Surga abadi, tempat yang sempurna, penghuninya kembali muda, ceria, cakap dan lengkap. (Plumbon Tempel, 5 Mei 2014; Sadhono Hadi; Creator of Fundamen Top40; Visit http://fundamen40.blogspot.com
http://rumahkudidesa.blogspot.com)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close