Pengalaman Anggota

Bihun Tawuran

Suatu sore, saya mengajak istri untuk berbuka puasa sunahnya di Warung Bakmi Bandung di Jogja. Salah satu warung bakmi yang rasanya masih sesuai dengan lidah saya, yang sudah terlanjur mBandung ini. Lokasi warung ini di halaman stadion Kridosono, persis sebelah soto stadion yang kesohor itu.

 

Sore itu lumayan banyak pengunjung warung, juga para pengamen yang gantian mencari rejeki sambil menghibur dengan suara yang tidak keruan. Saya pesan makanan favorit saya, nasi cap-cay, istri saya bihun goreng, sedang di kecil pesan Mie Ayam.

 

Yang disajikan paling awal adalah mie ayam, jadi kami berdua, ikut ngincipi mie ayam yang lezat itu. Kuah mie itu sudah saya incar untuk saya habiskan, karena biasanya anak saya tidak menyentuhnya. Sajian kedua yang datang adalah nasi cap-cay, yang segera saya santap, karena sudah dari tadi perut keroncongan.

 

Porsinya terlalu besar sesungguhnya, namun bila saya paksa biasanya habis juga. Sayang saat itu, acar mentimun yang biasanya tersedia setiap meja sudah pada habis. Dari tepi jalan yang memutar, terdengar raungan sepeda motor dengan knalpot yang menderu-deru. Tadi sebelum masuk restoran
kami memang melihat konvoi sepeda motor dengan kibaran bendera putih.

-“Hari gini ada pawai partai apa lagi”, bisik istri saya saat itu. Saya tidak sempat memperhatikan situasi, karena sedang asyik menghabiskan cap-cay dan air jeruk hangat. Saya lirik pesanan istri saya sudah datang, bihun goreng satu bukit kecil dalam piring yang lebar. Pasti ia tidak akan habis, karena porsi
makannya jauh lebih kecil dari saya.

Tiba-tiba dari arah selatan berlarian anak-anak muda dengan helm sambil berteriak-teriak. Jalan seputar stadion Kridosono di kawasan Kota Baru, memang memutar mengelilingi stadion. Warung kami ada disisi Barat stadion, jadi jelas anak-anak muda itu mungkin baru turun dari jembatan Lempuyangan.

Istri saya mungkin baru mencicipi beberapa suap makanannya, sudah panik keluar warung, demikian juga anak saya dengan meninggalkan mie-nya. Saya sendiri duduk tenang melanjutkan makan nasi cap-cay saya. Tiba-tiba istri, anak dan para pengunjung lain lari kembali ke dalam, karena kini gelombang
anak-anak muda dari arah sebaliknya datang sambil melempari batu. Untungnya di kawasan itu, sulit mendapatkan batu.

Wah. Kami terjebak di tengah tawuran suporter sepak bola. Untungnya mobil saya parkir agak tersembunyi di bawah rumpun bambu, diluar lintasan anak-anak yang sedang tawuran. Tidak lama polisi segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Polisi segera membubarkan anak-anak yang perang pedang bambu di jalanan.

istri saya segera membayar dan meminta bihunnya di bungkus. Saya sempat menghabiskan air jeruk saya dan kami segera meninggalkan tempat itu. Tampaknya belum berakhir. Mereka masih berusaha saling menyerang kembali dan polisi tidak mampu melerai. Para pengunjung berusaha masuk warung karena takutnya.
Pelan-pelan kami masuk mobil dan berusaha keluar dari arena tawuran. Alhamdulillah, Akan halnya bihun gorengnya , menjadi lauk malam itu, sarapan pagi esoknya, makan siang dan makan malam berikutnya. (Gudengan 20150304-SH)-FR

Catatan Epilog:
Sesungguhnya tulisan itu sudah saya akhiri dan selesai. Namun, dua hari kemudian, ketika saya mengeluarkan mobil dari garasi, saya melihat kaca belakang samping kanan mobil retak-retak dan
pecah. Mungkin terkena lemparan batu, saat tawuran terjadi malam itu.

 

Terpaksa saya harus merogoh tabungan dalam-dalam untuk mengganti harga kaca yang tidak murah itu. Mestinya judul tulisan saya diatas, “Bihun yang termahal”, tapi saya tidak sempat menggantinya, maaf.

 

Tanggapan sobat Soenarto

Pak Dhon ysh, cerita bihun dan tawuran kembali menggelitik saya utk nulis tentang kuliner mie yg saya suka dan juga tawuran didepan asrama. Berbagai masakan mie banyak yg sdh saya coba, mulai mie Belitung, Medan/ Pematang siantar, mie Aceh, Yogia sampai akhirnya jatuh hati ke Mie tek tek Tegal.
Kalau saya perhatikan bumbu orisinil alami yg komplit ternyata ada di mie Tegal dan Aceh ( tambah Kepiting). Selebihnya cuma karena bawang putih kemiri dan minyak/ kecap Inggris. Sedangkan tentang tawuran, zaman hidup diasrama (Palasari) saya saksikan dihalaman depan dan dilapangan Malabar antara BBC vs Anak Kavaleri Gatsu.
Keduanya adalah sahabat tempat dua pacarku berada. Kalau apel di Cipaera saya mampir mendekati anak2 Kavaleri dan kalau ke jalan Saledri mau nggak mau ketemu anak Bubat. Bingung……

Sambil bantu kusiapkan batu2 utk peluru, juga kuusir mereka dengan halus agar keluar halaman asrama sehingga akhirnya jadi aman.
Kadang setelah tua begini saya tersenyum tapi kemudian ngeri. Anak sekarang tidak cukup dengan batu, tapi bawa bawa senjata tajam, ih sampai hati bunuh bangsa sendiri. Mungkin sudah terpengaruh TV dan Narkoba ya ? Wass, (Narto)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close