Kesehatan

Diabetasi yang berpuasa agar kenali kategori risiko ini

KOMPAS.com-Banyak penyandang DM yang beribadah puasa Ramadhan. Langkah sebelum puasa, tentu berkonsultasi dulu ke dokter. Konsultasi membantu diabetesi mengatur jadwal makan, pengobatan, serta pengecekan kadar glukosa darah per hari. Selain menentukan apakah mereka bisa berpuasa atau tidak.

Terkait dengan puasa di bulan Ramadan ini, survei yang dilakukan Novo Nordisk terhadap 407 responden di Malaysia, Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Algeria menunjukkan ada sejumlah alasan penyandang diabetes untuk berpuasa meski sudah dibebaskan dari kewajiban tersebut.

Empat alasan besarnya antara lain karena penyakitnya tergolong ringan atau terkontrol baik (47 persen), ingin mengalami ritual Ramadan (45 persen), tidak ingin merasa berbeda dalam hidupnya karena diabetes (35 persen), dan merasa malu untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan (14 persen).

Pertimbangan untuk melakukan puasa semestinya perlu dilihat dari masalah masing-masing individu penyandang diabetes. Kondisi diabetesi ini kemudian dapat dikategorikan sebagai berisiko sangat tinggi, sedang, atau rendah untuk berpuasa.

Berikut kategori risiko terkait puasa Ramadan pada diabetesi seperti disebutkan dalam ‘Panduan Penatalaksanaan DM Tipe 2 Pada Individu Dewasa di Bulan Ramadan’ oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2013.

Risiko sangat tinggi pada diabetesi tipe 1 atau 2. Risiko dapat terjadi pada pasien yang mengalami hipoglikemi berat atau ketoasidosis dalam tiga bulan terakhir dan riwayat hipoglikemi yang berulang sebelumnya.

Mereka yang tidak menyadari tanda hipoglikemi (yang bisa langsung tidak sadarkan diri ketika mengalami hipoglikemi) tergolong dalam risiko sangat tinggi. Begitu pula bila kontrol glikemiknya tidak terkontrol, sakit akut, mengalami turunnya kesadaran atau koma hiperglikemik hiperosmoler dalam tiga bulan terakhir, pasien yang melakukan pekerjaan fisik berat, hamil, serta dialisis kronis.

Risiko tinggi pada pasien DM tipe 2. Pasien dengan hiperglikemi sedang (rata-rata kadar glukosa darah antara 150-300 mg/dL atau HbA1c 7,5-9 persen). “Kadar glukosa darahnya tinggi tetapi tidak tinggi sekali,” terang Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD.

Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (fungsinya sekitar 30-50 persen), komplikasi makrovaskuler (seperti komplikasi jantung), mereka yang tinggal sendiri, memiliki penyakit lain yang menambah risiko, usia lanjut, dan mengonsumsi obat yang dapat mempengaruhi aktivitas mental, termasuk dalam kategori risiko tinggi ini.

Risiko sedang penyandang diabetes tipe 2. Khusus untuk pasien dengan kadar glukosa yang bagus dan diobati dengan short-acting insulin secretagogues.

Risiko rendah pada pasien DM tipe 2. Terutama pada pasien dengan kontrol glukosa darah yang baik melalui terapi gaya hidup, metformin, acarbose, thiazolidinedione, maupun penghambat enzim DPP-4.

Ini pentingnya konsultasi dengan dokter sebelum diabetesi menjalankan puasa Ramadan. Pertimbangan risiko, serta penyesuaian (terutama terkait dengan pengobatan) dapat dibuat ketika diabetesi berkonsultasi dengan dokter.

“Pastikan kadar glukosa darah bagus, pelajari risiko apa saja yang dapat terjadi saat puasa, kenali tanda hipoglikemi, serta mengatur makan dan obat saat puasa berlangsung,” tambah Prof. Pradana.

Untuk diabetesi dengan insulin, perlu penyesuaian khusus atas dosis insulin tersebut. Mereka yang menggunakan insulin, saat puasa, perlu memiliki glukometer guna mengukur kadar glukosa darahnya. “Supaya tahu ketika kadar glukosa darah tinggi, berarti harus menaikkan dosisnya dan saat kadar glukosa darah rendah, mesti menurunkan dosis insulinnya,” ujarnya. (http://ramadhan.kompas.com/read/2015/06/17/110000723/diabetesi.yang.ingin.berpuasa.kenali.kategori.risikonya)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close