Selingan

Hobi menulis

HOBBY : Membuat ( mengarang, menulis, menggambar) cerita bersambung.
Salah satu kegemaran saya, disamping pelaku seni lukis naturalis dan seni patung kontemporer, adalah mengarang dan menulis.

Mengisi waktu luang setelah pensiun, salah satunya adalah membuat sebuah karangan lalu dituangkan didalam sebuah tulisan. Salah satu yg saya kerjakan menjelang buka puasa adalah menulis cerita roman sejarah berlatar belakang kerajaan di pulau Jawa.

Setiap hari saya menulis cerita ngayawara itu dan selama ini tetap konsisten upload cerita tiap hari, asal badan sehat dan masih ada stock pulsa. Sebetulnya cukup mudah untuk menulis sebuah cerber, asalkan ada buku induk (buku babon) yang bisa kita jadikan pegangan dan bisa kita kembangkan variasinya.

Buku induk yang biasanya banyak dipakai oleh para penulis roman sejarah di Jawa adalah buku ‘Babad Tanah Jawi’ Di buku BTJ, tokoh utama sudah jelas namanya, tinggal kita mengarang nama fuktif para figuran dengan berbagai karakter yang bisa dimasukkan didalam alur cerita.

Cuma sayangnya, isi BTJ tidak menceritakan kisah semua kerajaan, yg diceritakan di BTJ hanya mulai dari jaman Prabu Banjaransari sampai dengan jaman Panembahan Senapati, setelah jaman itu kita harus mencari sendiri dari berbagai sumber cerita.

Banyak sumber cerita yg bisa untuk masukan, misalnya buku2 babad daerah setempat, video, kethoprak RRI, film, cerita dari orang2 tua jaman dulu, bahkan tidak jarang saya mendapatkan bahan cerita dari mbah Gugel.

Tetapi tidak enaknya, dengan banyaknya sumber cerita, kadang2 sumber yang satu berbeda dengan sumber lainnya, misalnya kematian Amangkurat Agung, beberapa sumber menyebutkan kematiannya terjadi di desa Pasiraman Banyumas, ada juga yg menyebutnya meninggal di Tegal Arum.

Makam Sunan Amangkurat Agung memang terletak di Tegal Arum, hanya sekitar 10-15 menit dari pantura menuju ke arah Slawi.

Padahal jarak Banyumas ke Tegal terhitung sangat jauh waktu itu, dengan medan yang berbukit-bukit disekitar Bumiayu jadi perlu berapa hari orang2 yang mengusung jenazah raja Mataram itu tiba di Tegal dengan kondisi jalan yang (mungkin) hanya jalan setapak, yg jelas saat itu belum ada jalan hot mix.

Cerita tentang kematian Ki Ageng Mangir Wanabaya juga ada dua versi, yang pertama mati karena kepalanya dibenturkan pada watu gilang sewaktu sungkem kepada mertuanya Panembahan Senapati, versi kedua meninggalnya karena sewaktu sholat diatas batu berbentuk segi empat, dibunuh dari belakang oleh Raden Rangga, anak Panembahan Senapati.

Kematian Rara Pembayun juga ada dua versi, yang pertama meninggal seda kunduran, meninggal setelah melahirkan anaknya yg bernama Bagus Madusena, yg kedua masih tetap bisa mengasuh anaknya.

Kematian Trunajaya juga ada beberapa versi, ada yg menulis meninggal di Kediri tanpa menyebut tempat, ada yg menulis meninggal di gunung Kelud, dan ada juga yg menulis meninggal di Bantul. Tetapi semua sepakat kalau yang membunuh Trunajaya adalah Pangeran Tejaningrat.

Penobatan Pangeran Tejaningrat sebagai raja Mataram, seharusnya disertai rasa prihatin karena Mataram telah kehilangan beberapa daerah dengan adanya ‘Perjanjian Jepara”

Daerah2 yang hilang karena diserahkan kepada Belanda adalah sebagian pantai utara termasuk Semarang dan Jepara, dari daerah itulah cikal bakal Belanda untuk memulai menancapkan kuku2 penjajahnya di Indonesia.

Belanda mendapat daerah2 sebagian pantura karena membantu memadamkan pemberontakan Trunajaya. Pangeran Tejaningrat jadi raja Mataram menggantikan ayahnya dengan berselempang warna oranye pemberian Gubernur Jendral Belanda, Cornelis Speelman, dan naik tahta dengan gelar Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral.

Sebetulnya Belanda memberi gelar Sunan Amangkurat II adalah Sunan Amangkurat Admiral, karena lidah orang jawa waktu itu sulit berkata Admiral, maka jadilah Sunan Amangkurat Amral, ra popo. Sunan Amangkurat Amral membangun kraton baru karena kraton lama Mataram Pleret rusak parah akibat perang dengan Trunajaya, dan kraton baru itu terletak di Kartasura, Solo.

Betapa jauhnya boyongan seluruh penghuni kraton, pindah dari Mataram Pleret (yogya) ke Kartasura. Mulai saat itu pusat kekuasaan raja2 di Jawa dari daerah Yogya Pleret pindah ke Kartasura. Kalau kebetulan lewat Kartasura, silahkan mampir di situs bekas kraton Kartasura, hanya berjarak beberapa Km dari pertigaan Kartasura…… (Apung Swarna; dari grup FB-ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close