Pengalaman Anggota

Cerita waktoe itoe-Pedagang Adang-adang

// Cerita ‘Waktoe Itoe’ ini cerita tentang Indonesia di waktu yang lalu. Kita batasi paling tidak 40 tahun yang lalu ya. Anda juga sangat ditunggu cerita pengalamannya. Cerita bisa apa saja, pokoknya menarik. Bisa juga mengambil cerita sendiri, orang tua, kakek-nenek, guru, dsb. //

Ini cerita tahun 1960-an. Pinggir kampung saya merupakan perempatan jalan. Dua jalan bisa dilalui mobil dan dua jalan hanya bisa dengan berjalan kaki saja. Waktu itu jalanan di dekat kampung saya itu, salah satunya malah lewat sebelah rumah saya dan satu lagi malah di sebelah jendela rumah saya.

 

Oh ya, rumah saya saat itu depan rumah (2Mt dari dinding) jalan umum, kanan rumah (3Mt dari dinding) jalan umum, belakang rumah (3Mt dari dinding rumah) jalan umum. Kiri rumah malah nggak ada jarak, jalan umum. Jadi orang lewat bisa saja mengintip ke kamar rumah saya. Tentu jalan kampung saja.

Jalanan kampung saya saat itu ramai, hanya lalu lintas pejalankaki. Kendaraan jarang, termasuk sepeda sekalipun. Dokar ada dua buah. Semua jalan tadi ya jalan tanah saja, dan kalau hujan becek dan licin. Maka banyak orang menenteng sepatu kalau mau ke kota, sekolah atau bekerja. Di dekat kota baru cuci kaki lalu sepatu dipakai.

Di kampung sebelah ada pasar, sebut saja namaya Pasar Kampung Tengah. Orang setiap hari pergi ke Pasar Kampung Tengah ini dari kampung-kampung yang berada di utara dan barat kampung saya. Ada juga yang ke Pasar Kampung Utara, pasar besar namun jauhnya 4 km dari rumah saya. Banyak orang ke sana juga untuk berbelaja atau malah berjualan di sana, lewatnya lewat dekat jendela ruamh saya tadi.

Di pojok kampung saya, ada seorang ibu pedagang, istilahnya pedagang “adang-adang”. “Adang” artinya meng-hadang. Jadi ibu ini menghadang orang2 untuk menjual hasil panen ke ibu ini. Kalau bahasa Indonesianya pedagang pengepul. Tapi dia ini pedagang kecil, modalnya kecil, yang dibeli juga hasil kampung. Saya sering nongkrong di tempat ibu “adang-adang” ini, menonton orang jual beli. Senang rasanya melihat mereka.

Ada yang menjual pisang sesiri sampai beberapa sisir, bahkan daun pisang hampir selalu ada yang menjual. Ada kelapa, mungkin satu atau dua butir saja, ada yang menjual telor bebek, telor ayam, bisa 1, 2, 10 atau 30 butir. Sayuran daung singkong, daun pepaya juga dibeli. Ayam, beras, singkong juga diterima. Pokoknya semua bahan makanan mentah bisa.

Ada juga pemasok tetap berupa belut sawah. Orang ini tiap sore memasang bubu di sawah-sawah, kemudian pagi dini hari diambil dari sawah. Sampai di rumah, bubu dituang di tanah, kalau ada belutnya akan keluar dan diambil.

 

Belut kemudian dia “sunduk” atau ditusuk bilah bambu kecil, sebesar lidi sekaligus sebagai pegangan dan penghitung jumlah. Tiap belut ada satu pegangan. Kalau belutnya besar dihitung dua dan pegangannya dibuat dua buah. Kalau lebih besar, bisa tiga pegangan. Jadi mereka tinggal menghitung, kalau ada 30 pegangan berarti ada 30 satuan belut. Harganya tinggal menghitung.

Ibu ini, sudah tua juga sebab sudah punya cucu yang teman sekolah saya, datang pagi sekali dan menerima berbagai bahan makanan tadi. Jam 8 sudah tutup. Kamudian semua barang tadi diatur di “tenggok” (wadah dari anyaman bambu).

 

Dengan selendang digendong di belakang badannya, lalu dibawa ke pasar di kota dengan berjalan kaki sejauh sekitar 3 km. Jalannya naik turun. Mana kalau musim hujan jalannya licin sebab jalan tanah saja. Selain menggendong, di tangannya ada sebuah keranjang bambu. Telor dan belut ditaruh di sini.

Sesampai di pasar, barang dijual. Kalau jam 10 tidak habis, dijual ke pengepul lain. Telor dijual ke pengepul telor. Ayam dijual ke pedagang ayam. Dia tidak pernah membawa pulang dagangannya. Kalau tidak laku ya dijual murah saja.

Begitulah kehidupan kampung saya tahun 1960-an. Semua berjalan sederhana, namun lancar, sehat dan semua orang menikmati kehidupannya. Termasuk ibu pedagang “adang-adang” ini. Tidak ada yang dikejar hantu bernama kemewahan dan wah-wah lainnya . . . . . (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)FR
Catatan : Gambar diambil dari internet saja

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close