Orang bodoh mengaku paling pintar dan benar
Ketika orang2 bodoh merasa paling pintar dan paling benar dan orang awam merasa paling paham.
Maka hujat menghujat, kebencian dan kekerasan akan terus terjadi dimanapun. Itu dulu pernah terjadi pada saya pribadi. Alhamdulilah saya untung karena Tuhan membimbing saya tidak jadi orang Bodoh yang merasa terpintar dan benar.
Dan inilah kisah perjalanan itu : Suatu hari kami berkesempatan ber-bincang2 dengan Guru Kehidupan atau guru Compassion, di acara talkshow penutup kami di Radio Smart fm beberapa tahun silam. Sambil menunggu waktu kami duduk bersebelahan agar saya bisa belajar dari Guru mumpung beliau ada disini.
Kami berdua saat itu menghadap TV yang menyiarkan berita demi berita nasional. Lalu saya terpancing mengomentari tayangan demi tayangan yang disajikan yang isinya hujat menghujat dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan orang2 yang ada di tv. Saya terpancing emosi dan berkomentar pedas, lalu saya coba menengok wajah teduh sang Guru dan menanyakan apa komentar beliau menanggapi isu ini.
Beliau hanya tersenyum, dengan wajah damainya : “Ini semua sempurna sebagaimana adanya.”
Lalu muncul berita berikutnya yang tak kalah hebohnya, kembali saya terpancing lagi untuk memberikan komentar pedas. Ketika saya tengok dia, beliau kembali senyum dengan wajah tenangnya berkata pelan;
“ Tidak apa, tidak ada yang salah, semua ini sudah sempurna seperti apa adanya.”
Ber-kali2 dapat jawaban yang sama dan tidak memuaskan, karena beliau tidak ikut komentar seperti umumnya orang segera ikutan komentar pedas seperti saya, maka saya yang awam ini jadi penasaran, apa sih maksudnya ? yang seperti ini kok dibilang sempurna ? Bertanyalah saya, apa maksud beliau tadi;
Lalu dengan wajah teduh dan damainya beliau membuka kata demi kata;
“Ya kesempurnaan itu terjadi apa bisa ada dualitas-ada keduanya; ada siang dan malam, ada hitam ada putih, ada api dan ada air, ada sehat dan ada sakit, ada kuat ada lemah, ada lapar ada juga kenyang, ada kita di sini dan ada mereka di sana”; “Mana yang lebih baik Api atau Air ?” beliau tiba2 bertanya.
Saya berkata; “Tentu menurut saya air lebih baik dari api, air menyejukkan mendinginkan.”
“Nah disitulah apa bila kita belum memahami dualitas”.
”Ambil contoh Air, air itu dibutuhkan ketika api ada, Menyejukan itu dibutuhkan ketika ada panas, nah apakah orang2 di kutub utara lebih menyukai air yang dingin atau api yang hangat?.”
”Malam meneduhkan dan mendinginkan bumi dan siang menghidupkan bumi dengan panas matahari, ”
“Kebaikan itu baru kelihatan jika ada kejahatan. Polisi dibutuhkan jika ada penjahat., KPK eksis karena ada koruptor dst.”
“Itu arti semua sudah sempurna berada di perannya masing2, tinggal kita manusia yang diberi kuasa oleh Tuhan pilih peran, maka silahkan tentukan kita mau ambil peran apa?; Peran Api atau air, peran jahat atau baik.?”
“Justru jika tidak ada salah satunya maka peran lawannya menjadi tidak lagi dibutuhkan dan berguna.”
Lalu saya bertanya lagi “ Bagaimana jika peran kejahatan jauh lebih banyak dari peran kebaikan, orang jahat jadi lebih banyak dari orang baik?”
“Tentu jika terjadi kita harus menambah jumlah dan kualitas orang2 yang memainkan peran kebaikan.”
“Begitulah peran anda dan kita, kita ada karena ada mereka disana yang kebalikan dari peran kita“
“Makin banyak peran yang bukan kita, maka makin dibutuhkan keberadaan kita”
“Kita tidak perlu menghujat, tapi bersyukur, karena mereka peran kita berarti di tengah orang banyak.”
“Jadi barhentilah menghujat, tapi belajarlah melampaui dualitas tadi.”
“Sadarilah jauh lebih mudah mengambil peran sebagai kita yang ada disini ketimbang mereka yang memainkan peran itu disana” (melihat ke TV)
Maksudnya seperti apa ? tanya saya lagi
”Dengan memainkan peran kita ini, kita cenderung jadi orang yang lebih banyak menuai pujian, meski selalu ada sekali2 cemoohan; tapi coba bayangkan jika kita sedang menjalankan peran mereka disana ?”
”Jadi bagaimana agar saya bisa menuju kesana, menjadi lebih memahami dualitas kehidupan ini ?” Tanya saya pada sang Guru.
”Jika kita ingin melampaui dualitas, baik dan buruk dan tidak ingin menghujat orang lain, maka belajarlah merasakan lapar sebelum merasakan kenyang, belajarlah di hujat sebelum di puji, cintailah siang jangan membenci malam, pahamilah dan terimalah peran mereka masing2 sebagaimana kita menerima peran kita sendiri.”
”Karena mereka adalah guru2 bagi kita yang mengajarkan kita untuk bisa merasakan arti dihujat, apa arti bersabar, ya memahami kehidupan ini secara utuh bukan hanya separonya saja.”
”Ingat sering2 lah melatih diri dan belajar merasakan jadi orang yang di hujat dan di cemooh agar kamu bisa tidak ikut2an menghujat.”
“Sebagaimana guru2 besar dunia dari timur dulu, guru2 ini di hujat tanpa balas menghujat, dihina tanpa balik menghina, diludahi tanpa balik meludahi, dibilang gila tanpa harus membalas, di tampar pipi kirinya diberikan pipi kanan, hingga akhirnya guru2 ini paham hakekat hidup yang sesungguhnya. ”
“Lalu bagaimana caranya ?” tanya saya pada sang guru.
” Caranya bisa macam2, yang termudah coba lontarkan hal2 yang membuat orang lain menghujatmu, menghakimi mu, tapi sadarilah ini bukan dirimu sesungguhnya, melainkan bersandiwara untuk melatih diri melepaskan dari penghakiman karena dualitas kehidupan ini.” Jawab sang guru dengan lembut.
”Setelah itu yang dilakukan? Kuatkah kita : Cemoohan, hinaan, hujatan dan hal2 yang tidak biasa kita terima ?” tanya saya lagi pada Guru.
Sejenak beliau mulai terdiam, dan berkata “lakukan seperti ini”; “Atur nafas, rileks, rileks, makin rileks, lalu bayangkan kamu di hakimi dan terima, terima, terima karena dengan menerima ia berproses. Rasakan, rasakan, rasakan. Karena dengan merasakan kamu akan mengerti berada di posisi ini. Lepaskan, lepaskan, lepaskan..” karena dengan melepaskan semua perasaan menyakitkan akan pergi ”
”Lakukan ini berulang2 hingga terbiasa“ dan semua perasaan negatif itu lepas dan sirna satu demi satu.”
“Sepertinya sulit betul ya, untuk bisa jadi teduh, damai dan bijaksana seperti guru ?”, kata saya.
”Awalnya sulit tapi jika di latih dan di latih maka lama kelamaan jadi lebih mudah karena terbiasa.”
“Jadi latihlah dirimu dan sering2lah merasakan atau berada di posisi lawan dari peranmu, agar kita benar2 terlatih untuk tidak lagi mudah terpancing dan terusik oleh isu apapun dan ikut2an menghakimi orang lain. Melainkan memperkuat peranmu sendiri jadi apa, siapa dan melakukan apa di bumi ini”
“Apa kita jadi perusak atau memperbaiki hidup dan kehidupan di negeri ini itu pilihan kita berikut konsekuensi masing2”.
”Jika kamu bisa lakukan spontan, maka damai di hati dan damai di bumi.” Beliau menyudahinya.
Ya Tuhan…
Mendengarkan penuturan ini rasanya diri saya masih terasa jauh sekali dari samudera keteduhan batin dan jiwa, rupanya saya harus mendaki jauh menuju ke puncak kebijaksanaan tertinggi sebagaimana yang dituturkan Guru Compassion. Semoga Tuhan membimbing tiap langkah ku mendaki satu demi satu anak tangga pelajaran menuju tataran Guru Compassion. (Endar Hasbullah; dari grup WA-72)-FR