TELKOMGrup dan SEKAR

Mengenang Bhakti Postel 27 September 1945

(subroto1950.wordpress.com)-Dari Tulisan Bapak Djaka Rubianto Berjudul: Aksi Patriotik Angkatan Muda Ptt 27 September 1945

 

“ …. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ….” (penggalan proklamasi kemerdekaan RI)

 

Setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI (17/8/1945 pukul 10.00) di Jakarta, penggalan kalimat proklamasi di atas menggetarkan nurani para pemuda dan mengobarkan semangat untuk berperan serta dalam upaya mengambil alih pusat-pusat pemerintahan dari tangan penjajah Jepang melalui perhitungan matang dan pelaksanaan yang cepat.

 

Tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di kota-kota besar di seluruh wilayah Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya. Tidak terkecuali kota Bandung, dimana terdapat pusat pemerintahan antara lain bidang Pos, Telegraph dan Telepon serta Kereta Api.

 

Adapun posisi pemerintah pendudukan Jepang saat itu setelah Jepang menyatakan takluk kepada AS dalam Perang Dunia-II, adalah wajib menjaga kondisi status quo di seluruh wilayah jajahan sampai tibanya Sekutu untuk mengambil alih kekuasaan.

 

Itu berarti pihak penguasa Jepang harus mempertahankan semua asset dan jalur penguasaan wilayah untuk diserah-terimakan hanya kepada pihak Sekutu, bukan kepada pihak lain termasuk bukan kepada pemerintah Republik Indonesia.

 

Soetoko, Kepala seluruh Barisan Seinendan di dalam Tsusin Tai PTT, yang terdapat di Sekolah PTT, Laboratorium, Kantor Pos dan Telegrap Besar dan kantor Telepon Bandung, dengan sadar mempersiapkan pemuda-pemuda PTT untuk siap merebut, memanggul dan menggunakan senjata api pada waktunya.

 

Semangat pelopor yang ditempa di Tsusin Tai mendorong Soetoko memprakarsai upaya untuk merebut Kantor Pusat PTT dari tangan Jepang.

 

Tanggal 3 September 1945.

Soetoko mengumpulkan teman-teman dekatnya di dalam Tsusin Tai di rumah Slamet Soemari di Cihaurgeulis.    Selain Soetoko dan Slamet Soemari, hadir pula antara lain Joesoef, Agoes Saman dan Nawawi Alif. Mereka bersepakat membentuk kekuatan bersama di dalam sebuah perkumpulan yang mereka beri nama: Angkatan Muda PTT (AMPTT).

 

Ketika membicarakan rencana aksi, disepakati untuk merealisasikan amanat proklamasi, yaitu pemindahan kekuasaan Jawatan PTT dengan target paling lambat akhir bulan September itu juga.   Muncul dan tersebarnya berita tentang AMPTT mengilhami para pemuda untuk mendirikan pula Angkatan Muda di Jawatan-Jawatan lain.

Sejak tanggal 3 September itu dilakukan upaya halus mendekati pejabat-pejabat PTT Jepang untuk mau menyerahkan kantor atau dinasnya, namun mereka bersikukuh menolak sesuai perintah atasan.    Akhirnya disepakati melakukan perebutan kekuasaan pada saat yang harus dirahasiakan.

 

Tanggal 23 September 1945.

Soetoko berunding dengan Ismojo dan Slamet Soemari memantapkan rencana aksi konkrit, yaitu :

(1) meminta Mas Soeharto dan R.Dijar sebagai pejabat tinggi PTT bangsa Indonesia untuk menuntut kesediaan Jepang menyerahkan kekuasaan atas PTT

 

(2) bila Jepang tetap menolak, maka akan dilakukan perebutan kekuasaan dengan mengerahkan dukungan rakyat;

(3) bila Kantor Pusat PTT sudah dikuasai, akan mengangkat Mas Soeharto menjadi Kepala Jawatan PTT dan R.Dijar menjadi Wakil Kepala Jawatan PTT.

 

Tanggal 24 September 1945.

Soetoko menghadap Mas Soeharto menyampaikan maksud sesuai rencana aksi-1. Mas Soeharto setuju lalu bersama R.Dijar menemui pimpinan PTT Jepang, Tuan Osada Okamoto, meminta agar bersedia menyerahkan kekuasaan PTT secara terhormat ke bangsa Indonesia yang mereka wakili, hari itu juga.

 

Osada Okamoto menolak dengan tegas. Mas Soeharto menurunkan permintaan agar diijinkan mengibarkan bendera Merah-Putih di Kantor Pusat PTT. Osada mengijinkan dengan syarat dikibarkan di bagian belakang gedung, seberang jalan Cilaki. Lalu Mas Soeharto dan R.Dijar meninggalkan Osada Okamoto kembali ke kamar kerjanya di mana Soetoko masih menunggu.

 

Mereka memberitahu hasil pembicaraan mereka dengan Osada kepada Soetoko. Meskipun kurang puas, Soetoko meneruskan hasil perundingan itu kepada AMPTT, yang lalu beramai-ramai menaikkan bendera Merah-Putih pada sebuah tiang khusus secara khidmat.

 

Karena rencana aksi-1 boleh dikatakan tidak berhasil, maka harus dilakukan rencana aksi-2, yaitu perebutan kekuasaan dengan jalan kekerasan. AMPTT membicarakan rencana aksi-2 secara cermat.   Tugas selaku Ketua aksi perebutan kekuasaan dipercayakan kepada Soetoko, dibantu oleh tiga Wakil Ketua yaitu: Nawawi Alif, Hasan Zen dan Abdoel Djabar.

 

Langkah pertama yang dikomandokan oleh Soetoko adalah pembongkaran barikade tanggul yang dipasang oleh Jepang mengelilingi Kantor Pusat.   Tugas itu dibebankan kepada Nawawi Alif dan Soewarno yang menjadi komandan Tsusin Tai (Barisan Pelopor).

 

Tanggal 26 September 1945.

Nawawi Alif dan Soewarno memimpin pembongkaran tanggul yang mengelilingi Kantor Pusat PTT  ber-ramai2 tanpa memperoleh halangan dari Jepang. Sore harinya Soetoko ke rumah Mas Soeharto di jalan Jawa No. 2.  Kepada Mas Soeharto disampaikan tekad AMPTT melakukan perebutan kekuasaan atas kantor Pusat PTT esok hari tanggal 27/9/45, dIdukung rakyat. Mas Soeharto Setuju dan merestuInya.

 

Setelah memperoleh persetujuan dan restu dari Mas Soeharto, Soetoko dan ketiga wakilnya menyusun siasat dan taktik yang akan dilakukan esok hari. Semua anggota AMPTT diperintahkan bergerak menyebar ke masyarakat pada malam hari itu untuk mencari peralatan apa saja yang bisa digunakan.      Mereka mengumpulkan persenjataan berupa senjata api dan senjata tajam.

 

Ada pula yang mencari kendaraan bermotor sebagai alat pengangkut massa. Sebagian mendatangi penduduk yang tinggal di sekitar Kantor Pusat, mengajak untuk berperan serta dalam gerakan yang akan dilakukan esok hari. Ada pula yang menghubungi organisasi2 massa meminta dukungan agar bisa bergerak bersama dalam satu kekuatan yang besar.

 

Aksi gerilya mencari dukungan dan bantuan peralatan tersebut memperoleh sambutan luar biasa dari masyarakat dan organisasi massa.   Tanggal 26 September malam hari diwarnai oleh kesibukan yang melanda sebagian warga kota Bandung khususnya yang tinggal di daerah sekitar lokasi gedung Kantor Pusat PTT. Pada malam itu pula Soetoko menyusun sebuah pernyataan di atas secarik kertas.

 

Tanggal 27 September 1945.

Matahari telah sepenggal jalan ketika masyarakat berduyun-duyun mendatangi gedung Kantor Pusat PTT dari segala penjuru. Anak2 muda tampil menyeruak ke depan menjadi ujung tombak rakyat dengan membawa senjata tajam bermacam-macam. Mereka diarahkan untuk bergerombol di halaman selatan.

 

Anggota AMPTT yang berasal dari berbagai kantor PTT di kota Bandung datang dalam pasukan masing-masing, termasuk Kasmiri Soemamihardja dari Radio Laboratorium PTT Bandung. Mereka menempatkan diri di bagian terdepan menghadapkan pandangannya ke arah gedung Kantor Pusat PTT yang masih dijaga oleh tentara Jepang menyandang senjata api laras panjang dan pedang.

 

Nawawi Alif dan Soewarno masing2 menyandang sepucuk pistol yang mereka terima dari Soetoko usai membongkar barikade tanggul yang semula mengelilingi gedung Kantor Pusat PTT. Pegawai2 dari kantor Pusat PTT antara lain regu Bagian Kepegawaian dipimpin Goerjama juga menyandang pistol secara serentak meninggalkan meja kerja.

 

Sebagian berjaga di luar ruangan, sebagian lagi berjaga di depan pintu ruang kerja orang Jepang pimpinan unit masing-masing, satu orang perwakilan bergabung dengan Soetoko di depan ruang kerja Pimpinan PTT,  dan sisanya berkerumun di sekitar Ruang Jaga di lantai satu. Soewarno membawa pasukannya maju memasuki Ruang Jaga dimana terdapat sejumlah tentara Jepang bersenjata lengkap.

 

Wajah2 mereka yang garang dan kerumunan massa yang ber-teriak2 berang, membuat nyali tentara Jepang itu terbang. Soewarno minta mereka tidak menghalangi niat untuk menemui Pimpinan PTT dan komandan jaga menyerahkan senjata sebagai tanda menyerah.

 

Melihat penjaga di bawah sudah menyerah, Soetoko ik menuju ke ruang kerja Mas Soeharto dan memberitahukan bahwa AMPTT sudah mengepung Kantor Pusat PTT. Mas Soeharto mengajak R.Dijar lalu bersama Soetoko menuju ke ruang Tuan Osada Okamoto.

 

Soetoko menunggu di luar bersama sejumlah perwakilan Unit-unit kerja Kantor Pusat ketika Mas Soeharto dan R.Dijar sudah masuk ke dalam dan menutup pintu. Mas Soeharto menyampaikan kepada Tuan Osada bahwa pemuda dan rakyat telah mengepung Kantor Pusat PTT.

 

Tuan Osada memanggil pejabat2 PTT Jepang bawahannya. Setelah mereka datang perundinganpun dimulai.   Mas Soeharto kembali memberitahu keadaan di luar bahwa pemuda dan rakyat mengepung Kantor Pusat PTT, sedangkan penjaga di bawah sudah menyerah. Lalu Mas Soeharto menyampaikan tuntutan rakyat agar kekuasaan atas PTT diserahkan kepada bangsa Indonesia saat itu juga.

 

Tuan Osada terkesiap dan berdiam diri sejenak, lalu menuju ke jendela dan melihat ke luar pada kerumunan massa yang marah, kemudian dengan tegas menolak untuk menyerahkan kekuasaan atas PTT karena tidak ada perintah untuk itu dari pimpinan di Jakarta. R.Dijar segera keluar memberitahu Soetoko bahwa perundingan kembali gagal.

 

Soetoko bergegas turun memberitahu Soewarno yang lalu naik ke tingkat-2 bersama anggota2 pasukannya. Ketika membuka pintu dan masuk ke ruang Pimpinan PTT Jepang, Tuan Osada yang terkejut langsung menghunus samurai. Pejabat PTT Jepang lain melakukan hal yang sama. Soewarno mengacungkan pistol sementara teman2nya memegang senjata tajam dalam keadaan siap.

 

Mas Soeharto kembali menekankan rakyat sudah bulat tekadnya untuk mengambil alih kekuasaan atas PTT maka sebaiknya tidak perlu terjadi pertumpahan darah. Setelah berfikir sejenak, Tuan Osada lalu meletakkan samurai di atas meja kemudian pistolnya juga dicabut dan diletakkan di atas meja.

 

Tindakan itu diikuti oleh pejabat Jepang lainnya melakukan hal yang sama.     Soewarno menyarungkan pistol lalu berjalan ke meja dan mengambil pistol-pistol yang diserahkan Tuan Osada dan pejabat Jepang lainnya.

 

“Silakan pedang2 samurai ini tuan sandang kembali dan Tuan2 kini berada dalam pengawasan kami”, katanya pendek. Soetoko yang ikut masuk bersama Soewarno, mengajak Mas Soeharto dan R.Dijar keluar ruangan lalu turun ke lantai satu dan ke luar untuk menemui massa. Saat itu pukul 11.00 tepat.

 

Soetoko mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, kertas yang semalam telah diisinya dengan susunan kalimat pernyataan. Dengan suara lantang dia membacakan kalimat pernyataan tersebut:

Atas nama seluruh pegawai PTT, dengan ini, dengan disaksikan oleh massa rakyat yang berkumpul di halaman PTT jam 11.00 tanggal 27 September 1945, kami mengangkat Bapak Mas Soeharto dan Bapak R. Dijar, masing-masing menjadi Kepala dan Wakil Kepala Jawatan PTT seluruh Indonesia.     Atas nama AMPTT, Soetoko“.

Tepuk tangan pun membahana. Beberapa pemuda AMPTT dipimpin oleh Soewondo setengah berlari menuju ke tiang bendera resmi yang menghadap jalan Cisanggarung. Mereka membawa bendera Merah-Putih lalu menurunkan bendera Jepang yang masih berkibar, melepasnya dari tali, dilipat dan dibawa ke dalam.

 

Yang lainnya memasangkan bendera Merah-Putih pada tali yang sama lalu mulai dikerek ke atas.    Bersamaan dengan itu menggemuruh suara pemuda, pegawai dan masyarakat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan penuh semangat namun khidmat.

 

Pengerek benderapun menyelaraskan naiknya bendera dengan tempo lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh segenap hadirin. Pada saat sudah di atas dan tali diikatkan, terdengar seseorang memberi aba-aba diikuti oleh segenap hadirin mengangkat tangan kanan, membuka lebar telapak tangan dan ujung jari disentuhkan pada kening.

 

Dengan sikap tegap semuanya memberi hormat pada bendera Merah-Putih yang berkibar dengan gagah di puncak tiang. Setelah itu pasukan Soewarno meruntuhkan sampai rata sisa barikade yang masih ada.  Pengambil-alihan kekuasaan Kantor Pusat PTT dari tangan Jepang tanpa pertumpahan darah itu mengilhami pegawai PTT di kantor-kantor PTT lain di luar Bandung untuk melakukan hal yang sama.

 

Demikian pula Angkatan Muda di kantor-kantor pemerintah lain di Bandung seperti Balai Besar Kereta Api, Kantor Karesidenan, Jawatan Geologi, Perusahaan Listrik (Gebeo), Jawatan Pekerjaan Umum, segera bergerak mengambil-alih instansi mereka masing-masing dari tangan Jepang.

 

Hari itu tanggal 27/9/1945, pukul 11.00 pagi. AMPTT telah mempelopori pengambil-alihan kekuasaan atas PTT Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri dari tangan kolonialis. Hari itu adalah hari dimulainya penguasaan atas asset dan pengendalian operasional PTT di Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.

 

Hari itu bersejarah, insan PTT Indonesia menyumbangkan dharma bhaktinya untuk melaksanakan amanat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu: “ …..Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

 

Akankah karya patriotik mereka kita campakkan begitu saja hanya untuk berselancar atas nama modernisasi dan globalisasi semata?. Akankah semangat patriotik mereka kita hargai cukup dengan seonggok batu tugu yang mati dan hanya hidup setahun sekali selama sehari?. Presiden Soekarno pernah berkata: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”  (JASMERAH), karena masa depan tak kan pernah ada tanpa melalui masa silam.

 

Di era selajutnya AM PTT tinggal 5 orang : 2 orang dari Pos, yaitu Goerjama dan Siana, tiga orang dari Telekomunikasi, yaitu Soegandi, Soemardi dan Murwahono.    Kelimanya selalu tampak di antara generasi muda karyawan PT Pos Indonesia, Persero atau PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. tatkala memperingati Hari Kemerdekaan RI tanggal 17/8 dan Hari Bhakti Postel tanggal 27/9 setiap tahun.

 

Goerjama yang ditunjuk sebagai Ketua di antara mereka berlima dengan rendah hati berkata bahwa Ketua AMPTT adalah Soetoko, adapun dia hanya sekedar penerus saja.

 

Ketika ditanya kapan Hari Ulang Tahun PT Pos Indonesia, Persero dan PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Goerjama menjawab dengan tegas : “27 September, sebab pada tanggal itu PTT Indonesia sudah kita kuasai dan sejak itu operasional PTT di seluruh Indonesia berada di tangan bangsa Indonesia sendiri”.

Kini mereka sudah wafat, dan kita peringati setiap tanggal 27  September selain mengenang jasanya juga meneladani semangat Nasinasilme Para Pahlawan POSTEL. (Subroto sumber dari Djaka Rubianto; https://subroto1950.wordpress.com/2018/09/21/bakti-postel-27-september-1945/)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close