Iptek dan Lingk. Hidup

Apresiasi Terhadap Karya Seni

Rekan2 yang baik, Anda akan bertanya, apa pula bicara soal seni dalam dunia telekomuniksi/TIK, bukan?
Benar!? (Tanda tanya di belakang tanda seru menandakan pertanyaan keraguan); Begini ya. Umumnya insan (bisnis) telekomunikasi/TIK tertuju satu arah, dan kurang tertarik atau terpengaruh cakrawala sekitarnya yang luas, yang langsung dan tak langsung ikut menentukan bidangnya.
Contoh, eningkatnya seni dan apresiasi musik maka kebutuhan akan akses TIK akan meningkatkan kebutuhan jaringan telekomunikasi/TIK, baik jangkauan maupun kecepatannya. Apresiasi yang meningkat dalam musik atau seni budaya lain akan menigkat oleh promosi yang lebih baik.
Dan meningkatnya promosi yang baik sangat tergantung pada dana pendukung dari swasta dan pemerintah. Dan pemerintah dan swasta ini siapa, apabila bukan manusianya. Orang di belakang bedil, katanya. Bila orang di belakang bedil sibuk sendiri, ya demikianlah hasilnya seperti kita lihat sekarang.

Sebenarnya masalah dan isu yang pokok sederhana saja. Pada saat seorang ingin memajukan usahanya, maka dia harus ingat bahwa dia diciptakan sebagai manusia sosial. Loh? Ya, bahwa dia hanya berhasil apabila lingkungannya, manusia dan kondisi sekitarnya kondusif. Jadi apabila dia mau maju sendiri, dia sudah menyalahi prinsip keberadaannya, karena dia pasti butuh orang lain.

Michael Calvano, seorang warga AS, pendidikan dasar psichologi, isteri Indonesia, dan fasih bicara Indonesia yang benar, pada awal tahun 90an, ditempatkan sebagai Area Representative ITU (International Telecommunication Union) di Jakarta. Daerah cakupan Area Office Jakarta, adalah negara2 ASEAN.

Dia pernah bilang kepada saya, seperti di bawah ini.

Ada 5 tingkat kemajuan dari suatu perusahaan, termasuk telekomunikasi/TIK, katanya.

  1. Usaha tingkat Pertama, usaha perorangan yang hanya memikirkan keuntungan sebanyak mungkin, a.l. warung, kedai, dsb.
  2. Usaha tingkat Kedua, sang pemimpin sudah memikirkan kesejahteraan stafnya, karena apabila dia senang bekerja, maka usahanyapun akan lebih maju.
  3. Usaha tingkat Ketiga, perusahaan seperti yang tingkat kedua, yang sudah memikirkan lingkungannya. Artinya apabila lingkungan sekitarnya baik, maka perusahaannya akan lebih terjamin. Jadi dia ikut memelihara lingkungannya, yaitu manusia dan sarana sekitarnya (jalan yang baik, ketertiban, kebersihan lingkungan termasuk selokan yang tidak bau, tetangga saling kenal, hidup damai, dsb.
  4. Usaha tingkat Keempat. Nah, ini adalah perusahaan tingkat ketiga, yang sudah cakupannya nasional, sehingga memikirkan kondisi lingkungan nasional yang mendukung. Pimpinannya ikut membina dan bekerjasama dengan harmonis bersama perusahaan lokal dan nasional lainnya. Boleh saja bersaing di satu sisi, dan di sisi lain dia tidak bisa lupa bahwa kerjasama anat penting. Baik kerjasama dengan sesama bidang, maupuan pandai mendukung pemerintah yang ikut menentukan regulasi keberadaan usahanya maupun di luar bidang usahanya. Sayangnya menurut pak Calvano, perusahaan tingkat ini di Indonesia (semua bidang, bukan hanya telekomunikasi) bisa dihitung dengan sebelah jari tangan, jadi kurang dari 5!
  5. Usaha tingkat Kelima. Ini perusahaan tingkat ke-4 yang sudah mendunia, dan padangannnya sangat positif terhadap kemajuan negara tempat dia berusaha. Mereka berkepentingan bahwa negara tempat dia berusaha, baik dan kondusif, akan ikut menentukan sukses tidak usahanya. Dan saya ingat betul, dalam bidang telekomunikasi, salah satu contohnya adalah Motorola. Perusahaan ini a.l. memberikan banyak perhatian terhadap Regulasi Telekomunikasi RI, memberikan pemberdayaan bidang manajemen komunikasi radio, khususnya alokasi frekuensi yagn menentukan perkembangan jaringan nasional.

Setelah melanglang buana di atas, kita kembali lagi ke isu seni budaya di bawah ini.
Seni budaya, termasuk etika budaya, menentukan tingkat peradaban suatu negeri, suatu Bangsa.
Lihat saja barang seni Jepang, sangat sederhana kelihatannya, di sisi lain apabila dicermati lebih dalam, mengandung banyak rincian (detail) yang dibuat dengan sangat teliti dan sempurna.
Barang2 Italia, yang terkenal sedunia, mulai dari barang kecantikan, arsitektur bangunan, kedokteran, jalan kereta api melewati jurang dan terowongan, konservatorium musik, dsb.
Barang2 Swiss seperti arloji, pisau Swiss, sepatu, dsb.
Walaupun mahal, orang tetap membelinya, karena kualitas, keindahan, gengsi, dsb.

Semua itu tentunya akan ikut menentukan nama Bangsa dan Negaranya, bukan? Bahkan sampai ditiru dan dipalsukan karena nama negara dan merknya (brand) saja sudah ikut “menjual” barang terkait.

Oleh karena itu seperti contoh promosi barang atau seni Indonesia dalam pameran2 di tingkat dunia, harus juga didukung sepenuhnya oleh Pemerintah dan Perusahaan Nasional (bukan hanya oleh perusahaan atau instansi bidang seni budaya, melainkan juga perusahaan dan instansi dari bidang lain, termasuk Telekomunikasi, Pendidikan, Kesehatan, Kelautan/Maritim, Pembangunan Manusia, Pertanian/Kehutanan, dll). Janganlah mereka disuruh berjuang sendiri terseok-seok yang hanya didukung idealisme luhur mereka.
Hasil mereka, akan ikut mengangkat nama Bangsa dan Negara, dan tentunya secara tidak langsung usaha kita sendiri, merk (brand) usaha kita, dsb. Para pimpinan perusahaan dan pemerintah harus jeli melihat setiap peluang, bahkan yang nampaknya biasa-biasa dan tidak menarik pada awalnya, dan tidak dalam bidangnya sendiri.
Lihat contoh 5 (lima) tingkat perusahaan dari pak Calvano di atas!

Kemudian silahkan cermati pujuan dan kritik terhadap pameran Heri yang tiada duanya di Pameran bergensi di Venisia, Italia. <img src=“https://d5nxst8fruw4z.cloudfront.net/atrk.gif?account=+wb4g1agwt00GY” style=”display:none” height=”1″ width=”1″ alt=”” />

Heri’s ‘Trokomod’ Shines in Venice, Despite Lack of Government Support

<img src=”https://d5nxst8fruw4z.cloudfront.net/atrk.gif?account=+wb4g1agwt00GY” style=”display:none” height=”1″ width=”1″ alt=”” />

http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/heris-trokomod-shines-venice-despite-lack-government-support/

In his introductory remarks to the event, Enwezor said that the “state of world affairs demands a response and analytical lens in which an exhibition can become a kind of thinking machine … an exhibition format, as form of public discovery, of art’s potential in the face of difficulty and the inscrutable.”

  <>
“An exhibition is something that happens in the world — and carries with it the noise, pollution, dust, and decay that come from that world,” the curator said.
  <>

There is no doubt that that Heri’s Trokomod is up to this task.   <>

Unfortunately — but not entirely unexpectedly — for Indonesia, funding is again a stumbling block as the government seem to have placed art and culture on the bottom of its list of priorities. The pavilion could have been much better in terms of packaging and public service. But to save money the producer was forced to employ students — art experts, but still —  to guide the visitors. It’s just not enough for visitors to come and go without a proper explanation — and that cannot be obtained from the very thin brochure available on the volunteers’ desk.   <>

Produced by Restu Imansari Kusumaningrum of Bumi Purnati Indonesia, the Indonesian pavilion initially presented many challenges for the organizers and the artist himself. As one of curators, Carla Bianpoen explained, there were various hurdles that the team had to solve, including the lack of funding support from the Indonesian government. Eventually, they decided to still participate in this year’s event.   <>

While the pavilion can certainly make the nation proud, it has been produced with the support of donations.   <>

Restu said it was tough work promoting Indonesian art to a global audience, but that Heri’s presence at the Venice Biennale was a huge step in the right direction.   <>

“We are included in the top ten. We are appreciated, we have been talked about, we have been written [about in the media], we have been asked to be continuously present at the biennale by the president of the biennale himself,” she said.   <>

“We are also being recognized by other countries because the world of fine arts in Indonesia is booming. It has already advanced among Southeast Asian countries.”   <>

The biennale in Venice runs from May 9 through Nov. 22
<img src=“https://d5nxst8fruw4z.cloudfront.net/atrk.gif?account=+wb4g1agwt00GY” style=”display:none” height=”1″ width=”1″ alt=”” />

APhD)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close