Selingan

Wayang Gatutkaca(4)-Orang desa datang ke kota

Resi Bisma berkata dengan keras. ” Barkan mereka masuk”. Maka Prajurit Hastina yang menghalangi yang mau masuk itu minggir dan memberi jalan bagi orang2 itu masuk ke pendapa yang mengadakan persidangan penting itu.

Orang2 yang baru datang takjub keindahan dan kemegahan istana Hastina pura. Mereka tak bosan2  memandang seisi ruang, dari singgasana nan megah, pahatan pintu dan jendela, pakaian semua yang hadir, bahkan bagian atas bangunan pendapa itu tidak luput dipandang dan dikagumi.

Para kurawa mau menghardik mereka, namun Resi Bisma mengisyaratkan agar membiarkan tamu2 yang tampaknya orang desa dari jauh itu memandangi pendapa sepuasnya. Orang desa datang ke kota. Setelah dirasa puas, Resi Bisma membuka pembicaraan. ” Ki Sanak, apa kabar? Semoga perjalananmu menyenangkan”.

“Mohon beribu maaf”, kata seorang yang dituakan dari rombongan itu.
” Mohon ampun. Sampai kami lupa. Sembah sujud kami ke Sang Resi”, kata orang itu berlutut diikuti semua rombongan itu.

” Baiklah, sembah sujudmu aku terima. Puja-pujiku untukmu para tamu”, kata Resi Bisma.
” Terima kasih. Perkenankan hamba memperkenalkan diri, hamba Lurah Sagotra dari Desa Kabayakan, termasuk wilayah negara Ekacakra berbatasan negara Pancala Sang Resi”, kata Lurah Sagotra itu.

” Ya ya, perkenalkan juga, aku Resi Bisma. Di sini berkumpul para pandawa dan kurawa”, sambungnya. Orang2 itu mengenal baik nama Resi Bisma dari cerita2 yang beredar.
” Lebih tepatnya yang mengaku pandawa, begitu”, kata Patih Sengkuni menyela sambil senyum sinis. Bima nampak menggeretakkan giginya, pertanda menahan marah.

Resi Bisma tidak senang dengan Sengkuni yang memotong pembicaraannya. Begitu pula para pandawa. Para tamu yang datang itu bingung dan sepertinya ada yang aneh dengan pertemuan yang dihadiri banyak orang itu. Suasana kaku dan tegang. Ada apa gerangan? Begitu yang ada di benak mereka.

” Maaf para tamu”, kata Resi Bisma.
” Tidak selayaknya kami menerima tamu dengan suasana tidak enak. Kalian datang saat tidak tepat. Sedang ada masalah di sini”. Para tamu yang orang desa itu mengangguk, meski tidak tahu apa yang mereka anggukkan.

” Di satu sisi aku bahagia pandawa yang kami sangka semua telah mati dalam kebakaran besar, ternyata masih hidup. Kedatangan mereka tidak diakui para kurawa. Mereka dianggap orang lain bersandiwara dan mengaku-aku sebagai pandawa”, kata Resi Bisma melanjutkan.

” Oh, begitu?”, kata Lurah Sagotra. Wajahnya terperangah. Juga anggota rombongan lain. Mereka bolak-balik menatap wajah pandawa yang geram, sedih dan jengkel. Para kurawa nampak marah dan was2. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, namun mereka juga bingung dengan situasi itu.

 

Mereka membayangkan keluarga besar Hastina Pura berisi orang2 yang akrab, murah senyum, penuh keceriaan. Namun yang mereka saksikan sebaliknya. ” Mohon maaf Resi. Kami bingung kalau dikatakan para kesatria pandawa itu meninggal. Bukankah pandawa baru menolong kami? “, kata Lurah Sagotra mewakili rombongan kecil itu.

” Betul tidak kawan2?”, tanyanya ke anggota rombongan yang segera dijawab hampir berbarengan.
” Betul! Para kesatria pandawa yang telah menyelamatkan nyawa kami”.
Pandawa senang ada pembelaan dari orang yang baru datang. Para kurawa jengkel, mengapa ada serombongan orang mengaku ditolong pandawa. Resi Bisma senang dengan berita itu. Namun belum yakin juga.

” Ki Lurah Sagtra”.
” Aku senang dengan beritamu. Tapi aku tidak mengerti dengan apa yang kalian ucapkan. Coba jelaskan yang kalian alami”, sambung Resi Bisma.
” Baiklah, mohon ijin menjelaskannya”, kata Lurah Sagotra.

Semua yang ada di ruangan itu menunggu penjelasan Lurah Sgotra. Pandawa was2, kalau penjelasan mereka tidak membantu keberadaan mereka. Para kurawa tegang, kalau2 mereka bisa membuktikan bahwa para pandawa masih hidup.

” Begini ceritanya”, kata Ki Lurah Sagotra. Matanya memandang pandawa, kurawa dan Resi Bisma ber-ganti2. Ketika matanya bertemu mata para kurawa yang terlihat memelototi, Ki Lurah Sagotra segera menunduk. Dadanya serasa berkecamuk ingin menceritakan sesuatu kejadian penting.
” Kami tinggal di Desa Kabayakan, wilayah negara Ekacakra. Negara kami dikepalai  raja raksasa Prabu Dwaka atau Prabu Baka”.

Raja mereka yang merupakan raksasa, tiap bulan sekali, di saat bulan purnama, minta sesajian berupa makanan enak kepada rakyat di desa Kabayakan. Setahun sekali minta kurban sesajian berupa manusia hidup yang akan dimakan oleh sang raja raksasa tersebut.

Maka rakyat di negara itu jadi ketakutan, sebab setiap tahun harus ada pengurbanan manusia. Banyak rakyat diam2 mengungsi ke Pancala. Lama2 prajurit kerajaan tahu. Penjagaan diperketat, jika ketahuan ada yang mau meninggalkan kerajaan Ekacakra, nasibnya lebih buruk dibanding menjadi santapan raja.

Tahun itu giliran memberi kurban manusia dari Desa Kabayakan adalah padepokan Giripurwa yang sesuai namanya terletak di lereng gunung. Karenanya padepokan itu jadi sepi, cantrik2 pada keluar dan cantrik baru tidak ada yang mendaftar, karena takut, maka pengasuh Padepokan Giripurwa, Resi Hijrapa mau tidak mau harus menyerahkan salah satu dari 3 anaknya sebagai sesembahan, santapan Raja Baka.

Setelah ditentukan harinya, maka sebulan sebelumnya, di rumah / padepokan Giripurwa makin tegang, sebab satu anak Resi Hijrapa jadi kurban. Sang Resi tidak tega memilih salah satunya yang  dicintainya itu. Anak2nya juga masih ingin hidup. Waktu berjalan terus dan saat pengurbanan tinggal 3 hari lagi.

Padepokan Giripurwa lengang ditinggal cantrik dan dibiarkan terlantar. Resi Hijrapa, istri dan anaknya hanya menghuni bagian belakang kompleks padepokan yang besar itu. Rumah bagian depan dibiarkan tidak terurus, pintunya telah rusak dan terbuka terus tak pernah ditutup.

Alkisah, suatu hari 5 pemuda beserta ibunya datang ke Desa Kabayakan. Mereka datang dari perjalanan jauh. Karena lelah mereka bermaksud istirahat di salah satu rumah warga. Ternyata desa itu sunyi , nyaris tidak berpenghuni. Langkah mereka sampai di Padepokan Giripurwa.

Karena tidak ada orang yang bisa ditemui, mereka lalu tinggal di Padepokan Giripurwa di rumah depan yang pintunya terbuka dan tidak terurus itu, setelah membersihkan lantai dan dinding. Mereka tinggal di sana untuk beristirahat. Mereka itu adalah pandawa dan ibunya, Dewi Kunti yang habis menempuh perjalanan jauh. Mereka nampak lelah dan menahan lapar.

Pada saat itu anak terkecil, si kembar, Pinten dan Tangsen menangis tidak berhenti karena tidak tahan menahan rasa lapar. Maklum mereka kecil, belum dewasa. Dewi Kunti lalu memerintahkan Bima dan Arjuna untuk mencari makanan.

Bima dan Arjuna berpencar mencari makanan untuk adik2nya. Arjuna berjalan ke arah timur, suasana desa sepi, jangankan mencari atau minta makanan, menemui orang saja sulit. Bima ke arah barat, suasana juga sepi. Dia jalan jauh dan mendekati ujung desa. Saat itu dia bertemu orang2 bergegas akan pergi membawa bungkusan besar dari kain. Sebelum Bima bertanya kepadanya, mereka pergi. Bima lalu mengikuti orang2 itu.

Belum lama berjalan, mereka berpapasan beberapa orang yang berpakaian prajurit. Para prajurit itu lalu mencengkeram leher orang2 itu. ” Kamu mau ke mana? Mau mengungsi ya? Mau meninggalkan  Ekacakra ya?”, kata salah seorang prajurit.
” Jangan harap. Kalian berkianat ke Negara, ganjarannya? Mati”, katanya sambil membanting orang itu.

Tampaknya yang bergegas pergi tadi, orang yang akan meninggalkan negara. Bima yang lihat kejadian itu, merasa parajurit itu berbuat se-wenang2. Naluri kesatrianya muncul. Maka ketika ada prajurit mencengkeram leher dan akan memukul salah seroang lagi, Bima menangkis, dan memukul bahu orang itu. Prajurit itu menyeringai kesakitan dan melepaskan cengkeramannya.

Tidak perlu dikomando, prajurit itu mengepung dan menyerang Bima. Bima adalah kesatria yang secara fisik tinggi besar, juga punya kesaktian tinggi. Maka tidak berapa lama prajurit2 itu bisa dikalahkan dan segera meninggalkan mereka.

” Terima kasih Raden, anda menyelamatkan kami”, kata salah satu di antaranya. Tanpa disuruh, mereka menyembah Bima dan menghaturkan terima kasih.
” Tidak usah berlebihan”, kata Bima buru2 ingin cari makan untuk adik2nya. ” Apa yang terjadi?”.

Mereka berceritera akan mengungsi ke negara Pancala, karena raja mereka tiap tahun minta kurban  manusia untuk disantap. Mereka balik tanya ke Bima siapa dia dan apa yang dilakukan. Bima menjelaskan dia Bima, putra kedua pandawa yang kini bersama saudara2 dan ibunya dalam perjalanan pulang ke negaranya, Hastinapura. Karena lelah, mereka istirahat di rumah kosong di lereng gunung.

Setelah Bima menyebutkan ciri2 rumah itu, mereka yakin itu rumah Resi Hijrapa padepokan, namun kini kosong. Ketika Bima menceritakan dia sedang cari makanan, maka dengan sukarela pengungsi itu memberi makanan yang mereka bawa untuk bekal mengungsi, kini mengurungkan dan menundanya.

Bima pamit ke rumah tempat istirahat. Orang2 itu pulang. Peristiwa Bima mengalahkan prajurit Ekacakra itu membuat gempar. Di sisi prajurit, mereka marah, melaporkan kejadian itu ke rajanya, Pabu Baka. Ada prajurit yang merasa selama ini raja berbuat se-wenang2, melanggar HAM. Prajurit yang begini mengharapkan agar suatu hari ada yang bisa mengalahkan Raja mereka kelak.

Di sisi rakyat, mereka sangat bersyukur mendapat pertolongan Bima. namun mereka juga bertambah cemas, sebab kedatangan Bima ini hanya kebetulan lewat saja. Setelah Bima pergi, tentulah prajurit dan raja mereka akan marah dan bertambah bengsis kepada mereka. (bersambung Jum’at depan)

Catatan : Cantrik = murid, siswa.  (Widartoks 2016; dari grup FB-ILP)- FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close