Opini dan sukses bisnis

Mantan Kuli panggul jadi juragan Ikan Presto

Jakarta, Kompas.com-Bunyi desis panjang khas panci presto terdengar sayup2 dari bangunan sederhana. Aroma bumbu rempah menyengat ke seisi dapur ukuran 150 m² yang memproduksi pindang ikan laut dan bandeng presto. Di sudut lain, 3 pekerja mengepak pindang tongkol ke keranjang kecil dari bambu.

 

Pekerja lain mencuci bahan baku ikan yang dipilah sesuai ukuran dan dimasukkan di keranjang2 plastik, sebelum proses perebusan. Itu sekelumit aktivitas rutin produksi milik Muhtadin, di Kampung Cipayung RT 05 RW 02, Kelurahan Abadijaya, Kec-Sukmajaya, Depok, Jabar, yang dikunjungi Kontan (24/12/16).

 

Muhtadin asal Tasikmalaya biasa disapa Mumu Cuik ini, dikenal warga sebagai pengusaha ikan laut yang merintis usaha dari nol. Awalnya Mumu pedagang ikan cuik yang mangkal di emperan pasar dan stasiun KA akhir 1983 pertama dia masuk di kota belimbing itu. Mumu meninggalkan kampung yang luluh lantak diamuk letusan Gunung Galunggung 1982.

 

Bencana gunung meletus membuat ekonomi keluarganya lumpuh. Lahan pertanian tak bisa ditanam. Apalagi ortu Mumu petani kecil. Usaha sang paman yang banyak membantu keluarga juga terkapar. “Paman bandar domba. Usahanya bangkrut saat gunung meletus,” katanya.

 

Tak ada pilihan selain ke kota dengan harapan mengubah nasib. Kala itu, usia Mumu belia, baru 13 tahun dan baru tamat SD. Di Depok Mumu menumpang saudara yang rutin berjualan ikan cuik. Di samping membantu saudara berdagang, ia kumpulkan rupiah bekerja serabutan. “Hampir setahun saya kerja kuli panggul di pasar,” kenang bapak 5 anak ini.

 

Kemudian, Mumu usaha dengan ambil ikan cuik dari pemasok. Lalu, Stasiun Depok Lama, Pasar Depok Jaya, dan Pasar Lenteng Agung Jaksel, jadi lapak Mumu memungut rezeki. Tanpa modal sepeser pun karena hanya ambil barang dan setor hasil penjualan. Dari penjualan, Mumu mengantongi laba Rp 3.000–Rp 4.000 / hari.

 

Buruh pabrik

Akhir 1984, pria kelahiran 6/3/1968 ini berhenti jualan ikan cuik karena tergiur kerja di pabrik. Tapi hitung punya hitung, gaji buruh pabrik tekor ketimbang dagang di pasar. Hanya 10 bulan bertahan jadi buruh pabrik dengan upah Rp 19.000 / minggu. “Saya pikir lebih enak dagang dari  jadi buruh pabrik,”.

 

Sejak itu, Mumu  ber-usaha jualan pindang ikan. Alhasil, dari waktu ke waktu penjualan meningkat. Belum puas dengan yang diraih, Mumu coba2 memproduksinya bermodal Rp 4 juta. Uang itu digunakan beli alat dan belanja bahan baku ikan 100 kg. Produksi mandiri ia lakukan sekitar awal 1990-an.

 

Saat itu  ia berbekal ilmu meramu ikan pindang dari tukang pindang yang dia kenal. Keterampilan dia minim dan banyak kendala. Beberapa kali hasil produksi gagal. Ikan olahan rasanya tidak enak dan gatal saat dimakan. Misalnya sepintas ikan hasil produksi terlihat utuh, tapi ketika dibuka daging dalamnya hancur. Usut punya usut, bahan baku ikan itu hasil tangkapan dengan bom ikan atau dinamit.

 

“Pantas pemerintah melarang bom ikan selain merusak juga merugikan pembuat pindang”. Ketika bisnis terus memperlihatkan kemajuan, justru ujian datang tiba2. Usaha yang dirintis Mumu hingga memiliki dapur ikan kapasitas produksi lebih dari 1 ton / hari, sirna ketika datang badai krisis ekonomi 1997.

 

Harga bahan baku ikan melonjak tinggi, sedang penjualan terjun bebas. Tak pelak, modal usaha terkikis habis. Dalam situasi terjepit, Mumu mencoba peruntungan lain dengan usaha kredit barang. Tapi ibarat jatuh tertimpa tangga, usaha coba2 ini membuat ekonomi Mumu ambruk. Modal tipis untuk kredit tidak kembali akibat banyak macet.

 

Kejadian ini tak membuatnya patah arang. Ia bangkit dan merintis usaha pindang dari titik bawah lagi. “Saya mulai ambil barang dari orang, dan berdagang lagi di pasar,” tuturnya. Setelah jungkir balik kehidupan, titik terang terlihat sekitar 2000-an. Kini, kapasitas produksi stabil di angka 1 ton / hari dan bisa mempekerjakan 12 orang.

 

Volume produksi melonjak 2x lipat saat Ramadan atau jelang Idul Fitri / Idul Adha. Produknya pindang ikan tongkol, kembung, salem, tuna, layang, dan bandeng presto. Harganya Rp 22.000 -Rp 24.000 per kg untuk memasok kebutuhan ke pasar2 tradisional di Depok : Pasar Agung, Pasar Musi, Pasar Kemiri, dan Pasar Pucung. “Rata2 omzet penjualan Rp 20 juta/ hari,” bebernya.

 

Berhubung usaha pindang dan bandeng presto menjanjikan, Mumu siap ekspansi dengan mendirikan dapur baru menyasar segmen konsumen menengah atas. Lokasi dapur ikan di daerah Studio Alam, Sukmajaya, hasil investasi patungan. Kelak, kapasitas produksi bisa mencapai 2 ton / hari. Ia berharap produk dari dapur baru  bisa menembus pasar modern.

 

Thap awal ujicoba produksi Januari 2017. Bersama rekan bisnisnya, Mumu berinvestasi lahan dan pengadaan tiga tempat penyimpanan berpendingin kapasitas 1,4 ton, dan peralatan lain. Mumu menyadari, standardisasi produk harus terus ditingkatkan menyesuaikan tuntutan pasar.

 

Karena itu, kini ia  tengah mengikuti pelbagai pembinaan dan pelatihan dari instansi terkait agar bisa memenuhi standar kualitas. Ia memprioritaskan pengurusan kemasan dan label. “Untuk masuk pasar modern, syaratnya pakai kemasan dan ada label.” katanya.

 

Ingin cetaak sarjana

Meski berpendidikan rendah, Mumu membuktikan sukses usaha produksi pindang dan bandeng presto. Tamatan SD ini bisa mempekerjakan 12 orang lulusan SMA. Usaha bisa berkembang  karena kegigihan dalam berusaha yang pantang patah arang. Kesulitan hidup yang  dilaluinya menempa Mumu, sosok bermental baja. “Sejak umur 4 tahun, bapak saya meninggal,” ujarnya.

 

Tinggal pun di rumah kayu yang sempit hanya berpintu satu dan dua jendela, karena kondisi ekonomi keluarga sulit. Terlebih setelah bencana gunung meletus. Akibat tidak punya biaya, ia putus sekolah. “Saya bukan tak mau sekolah, tapi buat makan saja susah,” aku Mumu.

 

Padahal di sekolah dari kelas 1-6 SD dia ranking pertama. Kala itu, untuk masuk ke sekolah negeri pun tak perlu tes lagi karena nilainya melebihi. “Guru saya bilang, kamu masuk SMPN tak per ujian lagi,”.

 

Bagi Mumu, pendidikan penting sebagai bekal hidup agar bisa bersaing. Ia tak berpendidikan bisa namun berhasil berusaha karena kondisinya beda. Ia bertekad agar semua anak2nya bergelar sarjana.  Dari  5 anak, satu lulus kuliah dan menikah. Anak kedua, kuliah di Bandung. Ke-3 sampai ke-5 masih sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

 

“Walau saya tamatan SD, anak2 minimal harus jadi sarjana. Alhamdulillah, kami ada rezeki, jadi pendidikan jadi prioritas utama,”  ujar Mumu.  (Dadan M. Ramdan; Bambang Priyo Jatmiko; KONTAN; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/01/06/143004726/mantan.kuli.panggul.ini.berhasil.jadi.juragan.ikan.presto)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close