Aku cinta Indonesia

Sejarah Patung Pancoran

“Dhi, saya mau buat Patung Dirgantara untuk memperingati-menghormati pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya.”

#DEMIKIAN percakapan Bung Karno dan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara (1964) yang menyiratkan bangganya Presiden pertama itu dengan heroisme penerbang Indonesia. Ironisnya, tidak semua orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan masalahnya.

Suatu hari penulis berkesempatan untuk mewawancaria langsung Edhi Sunarso (82), pematung legendaris kepercayaan Sukarno di kediamannya di Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogya.  Dalam kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang (1953) yang dikerjakan Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi Sunarso bertemu Bung Karno.

Bung Karno bilang ke Edhi, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan itu. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di London berjudul “Unknown Political Prisoner”.

Usai membuat relief Museum Perjuangan di daerah Bintaran Yogya (1959), Edhi dipanggil Bung Karno. Panggilan itu membuatnya terkejut. Dalam hati, Edhi bertanya ada kepentingan apa Bung Karno memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lain, yaitu Henk Ngatung dan Trubus dapat panggilan serupa.

Ketiga pematung andalan Indonesia ini melahirkan patung Selamat Datang yang hingga kini bisa kita nikmati di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Dari banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek.
Patung Dirgantara dimaksudkan Bung Karno menghormati jasa pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil mengebom kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat2 bekas peninggalan Jepang. “Kita belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan yang gagah berani.
Kalau Amerika dan Soviet bisa bangga karena punya industri pesawat, kita harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itu kebanggaan kita. Karena itu saya ingin buat monumen manusia yang tengah terbang dengan gagah berani, menggambarkan keberanian bangsa.

 

Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung Karno panjang lebar. Bung Karno minta Edhie memvisualisasikan sosok lelaki gagah perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano berpose sambil berkata:
“Seperti ini lho, Dhi. Gatotkaca menjejak bentala.”
SETELAH model Patung Dirgantara, atau patung Pancoran selesai, Edhie usul ke Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia memegang pesawat di tangan kanannya diubah.
“Pak, dengan pegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan,” ujar Edhie.
“Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup gerak tubuh manusia, didukung gerak selendang diterpa angin,” lanjut Edhie.

“Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,”
(Ya sudah Dhi, kalau kamu anggap lebih baik ya tak usah dipasang. Tidak usah dibuat) jawab Bung Karno
Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena peristiwa G30S/PKI. Di sisi lain Edhie juga sudah tidak punya bahan2, dan tidak punya uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan.
Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada bank. Patung Digantara sempat beberapa tahun terbengkalai di Studio Arca Yogya berbentuk potongan2 yang siap dirangkai.  Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” ujarnya.

Februari 1970, di sela2 pengerjaan diorama untuk Museum ABRI Satria Mandala, Edhie dipanggil panitia pembangunan Monas untuk menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Dalam pertemuan itu Edhie melihat Suryadarma dan Leo Wattimena, serta pelukis Dullah dan beberapa teman dekatnya.

“Saudara Edhie, piye kabare?” kata Bung Karno.
“Patung Dirgantara nang endi?”
“Sampun rampung, Pak, (Sudah selesai, pak)” jawab Edhi.
“Kok durung dipasang? tanya Bung Karno.

“Nyuwun pangapunten, Pak.
Kulo sampun mboten gadah arto, kepeksa sedaya pekerjaan kulo kendelaken,
(Mohon maaf pak. Saya sudah tidak memiliki uang. Terpaksa semua pekerjaan saya tangguhkan).
Saya disegel, karena masih punya utang.”

Bung Karno terenyuh. Tak berapa lama ia panggil Gafur dan Dullah yang duduk di belakang Bung Karno.
“Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet. (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,” ujar bung Karno.

Setelah itu Edhie pamit pulang ke Yogya untuk mempersiapkan pengangkutan patung ke Jakarta. Sebelum pulang, seorang staf Bung Karno menyerahkan uang sebesar Rp1.750.000 kepada Edhi untuk biaya transportasi pengangkutan patung ke Jakarta.

Tak_sampai_meresmikan.
Satu minggu pekerjaan berjalan, Bung Karno melihat langsung pengerjaan merangkai patung.
Setiap bagian yang diangkat rata2 80-100 kg. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang dan setiap sambungan dilas.

Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, Edhie melihat ke bawah dan terlihat banyak orang berkerumun termasuk Bung Karno. Padahal, kondisi kesehatan Bung Karno saat itu tidak baik dan ia sudah tinggal di Wisma Yaso. Edhie bergegas turun, namun dilarang oleh Bung Karno.

Minggu ke-1 April 1970, pemasangan patung sampai di bagian pundak dan tangan kanan terpasang. Tangan kiri dalam tahap penyambungan. Dalam kondisi kurang sehat, Bung Karno kembali meninjau proses pemasangan. Seperti yang pertama, Edhi bergegas turun dari atas, tetapi lagi2 dilarang Bung Karno. Bung Karno meminjam megaphone pasukan pengawal agar saya terus bekerja.

Mei 1970, Edhi mendengar kabar kalau Bung Karno akan melakukan inspeksi ketiga kalinya. Tetapi hal itu  tidak pernah terlaksana karena sakit Bung Karno semakin serius .

#PAGI pukul 10.00 tanggal 21/6/1970, Edhi yang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring2an mobil jenazah melintas di bawah monumen. Ternyata itu iring2an mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.

Badan Edhie lemas. Ia bergegas turun dan bersama Gardono, ke Blitar mengikuti upacara pemakaman Bung Karno. Semingu setelah pemakaman, Edhie bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk mengerjakan akhir sekitar satu bulan. Edhie meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.

Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.

“Saya rela demi cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku ke Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide2 dan mengerjakan karaya2 monumental Bung Karno,” kata Edhi. (Agus Suryono; dari grup FB-ILP; sumber dari The Lost History of Nusantara)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close