Selingan

Wayang Gatutkaca(7)-Hutan pemberian

Keluar dari perut bumi, para pandawa dan Dewi Kunti meneruskan perjalanan ke Hastinapura. Mereka tidak tahu, saat mereka tidak ada di Hastina, Duryudana diwisuda jadi raja baru, raja muda di Hastina didampaingi patih pamannya sendiri, adik ibunya : Dewi Gendari, Tri Gantal Pati yang bergelar Patih Sengkuni.

Perjalanan pandawa dan Dewi Kunti melewati negara Ekacakra, bertemu Resi Hijrapa dari Padepokan Giripurwa dan Lurah Sagotra. Bima berhasil membunuh Prabu Baka yang tiap tahun minta kurban manusia hidup untuk dimakan. “Itu kisah perjalanan kami Resi Bisma”, kata Dewi Kunti menutup cerita perjalanan bersama anak2nya pandawa.

” Hm . . .”, Resi Bisma bergumam seraya menarik nafas dalam2.
” Kalian benar para pandawa dan Dewi Kunti”, sambungnya.
” Dewa melindungi kalian cucu2ku”. Tak terasa air matanya menetes di pipi. Haru.

Namun Resi Bisma tidak bisa menuduh para kurawa yang telah sengaja membakar Bale Sigala Gala untuk menyingkirkan para pandawa, sebab tidak ada bukti dan saksi. Demikian pula para pandawa. Di sisi lain, Lurah Sagotra dan beberapa kawaannya dibuat takjub dengan kisah para pandawa itu. Mereka juga yakin, pasti ada pihak yang ingin menyingkirkan pandawa, entah siapa dan apa sebabnya.

Di pihak kurawa, mereka menjadi was-was, kalau Resi Bisma menuduh mereka sengaja membakar Vila Sigala Gala. Jika demikian, maka akan sirna segala kenikmatan yang telah mreka rasakan dalam beberbapa bulan terakhir ini. Mungkin mereka akan dihukum berat. Kini semua diam, menunggu Res i Bisma.

” Kalau demikian, berarti benar kalian adalah cucuku para pandawa dan Dewi Kunti”, kata Resi Bisma kemudian, seakan mengulang kata-kata sebelumnya.
” Tahta harus diserahkan ke pandawa”.
Sebelum ada yang menaggapi, Patih Sengkuni yang sudah makan garam, pintar dan licik menyela.

” Mohon ampun Resi Bisma, kini pemerintahan dipegang anak Prabu Duryudana dan rakyat tahu. Kalau tiba2 pemerintahan berganti, rakyat akan tanya dan berkesan tidak baik. Bisa menimbulkan ketidak percayaan rakyat” katanya.
” Hmm …”. Semua yang hadir nunggu yang akan terjadi. Pihak pandawa yang tidak haus kekuasaan, menyerahkan pada keputusan Resi Bisma.

” Kalau begitu” kata Resi Bisma. ” Pemerintahan di Hastina tetap dipegang Duryudana. Pada saatnya kalau siap, harus dikembalikan ke pandawa. Kurawa tetap bisa menempati istana Hastina Pura. Cucu2 ku para pandawa, kalian mengalahlah” sambungnya.
” Sekarang wilayah kerajaan ini dibagi 2, kurawa di utara dan pandawa di selatan”, kata Resi Bisma.

Para pandawa menerima keputusan, sebab mereka menilai yang terjadi jadi kehendak dewa, manis atau pahit. Para kurawa senang keputusan itu. Mereka bisa meneruskan kekuasaan dan menikmati kekayaan negara Hastina. Wilayah yang dikuasai kurawa itu wilayah yang sudah jadi, ada sawah ladang, peternakan, perikanan, perkotaan, pedesaan dsb. Tanahnya subur.

Para pandawa dapat tanah tandus dan kurang makmur. Namun mereka menerima keputusan itu. Toh sementara, tahta Hastina tetap milik mereka. Suatu saat akan dikuasai.

Beberapa hari kemudian mereka berangkat ke wilayah yang diserahkan ke mereka, setelah Resi Bisma menetapkan batas2nya. Wilayah itu Kandhawa Prasta yang tandus, berbatu dan tanah tidak rata. Tidak bagus untuk pertanian, perkebunan dan perikanan. Jika dibagun istana, tidak nyaman untuk ditinggali.

Di sebelahnya berupa hutan lebat Hutan Wanamerta. Istilahnya hutan “gung liwang liwung”, hutan luas dan tidak ada manusia yang tinggal. Di jaman wayang hutan lebat merupakan tempat menyeramkan, sebab tempat tinggal binatang buas, binatang berbisa dan tempat tinggal Jin, Setan, Peri, Perayangan, Ilu-ilu, Banaspati, Genderuwo, Wewe Gombel dan kawan2nya yang menakutkan.

 

Di sana juga merupakan tempatnya para raksasa bertempat tinggal, berkeluarga dan beranak pinak, raksasa yang makanannya berupa hewan dan juga manusia. Maka, tidak ada orang yang berani masuk ke hutan lebat seperti itu. Istilahnya ” Jalma mara jalma mati, jalma mara keplayu”, yang artinya manusia yang berani masuk akan mati, atau lari ketakutan.

Situasi ini beda dengan negara tetangganya. Di sana hutan lebat di-kapling2 dan jadi rebutan banyak pihak. Ada yang di-aduk2 diambil barang tambangnya, ada  yang tanahnya diolah jadi perkebunan, misal perkebunan kelapa sawit. Yang menyedihkan, di banyak tempat pohon2 besar usia ratusan tahun ditebangi dan dibiarkan, atau malah dibakar. Mengapa?

 

Karena batang pohon2 yang diameternya besar itu, kalau dijual dianggap kayu curian (kayu hasil penebangan liar “illegal logging”), sebab yang mengolah tanah tadi tak ber-ijin atau konsesi mengambil hasil hutannya. Hal ini tentu sangat memilukan, sebab pohon itu sudah ada di sana ratusan tahun.

 

Alam yang menanam, se-mena2 dibiarkan atau dibakar. Ini mungkin yang namanya me-nyia2kan pemberian Sang Maha Pencipta. Ada pula kayu2 gelondongan malah diselundupkan ke negara tetangga. Di negara itu, kayu diberi cap dan diperlakukan sebagai kayu “legal”, kayu resmi alias bukan kayu curian.

Kalau begini siapa salah? Tidak ada yang mengaku salah. Pasti ada yang salah. Harusnya ada solusi hal ini. Padahal di negara tetangganya Hastina itu banyak orang pintar, tinggal dibahas dan dicari solusinya, seharusnya. Mereka tidak berfikir bahwa Sang Maha Pencipta telah menyiapkan kayu-kayu besar kepada mereka gratis untuk dimanfaatkan, tetapi mereka malah menyia-nyiakan pemberian itu.

Di sisi lain, orang yang dapat konsesi dari pemerintah untuk ambil kayu hutan, menebang se-mena2. Penebangan harusnya tebang pilih, (menebang pohon dengan diameter tertentu), ini pohon kecil juga ditebang. Sesuai perjanjian, setelah penebangan hutan ditanami, namun banyak yang tidak bertanggung jawab dalam menanam ini. Jumlah yang ditanam dan tumbuh baik, tidak sesuai yang diperjanjikan.

Sebagian dari mereka itu menebang pohon lebih banyak dari yang seharusnya, akibatnya hutan lindung yang ada dalam perencanaan, jadi jauh lebih kecil dari seharusnya. Akibatnya hutan pelestari plasma nutfah, penyimpan ragam hayati makhluk hidup tidak berfungsi semestinya.

 

Banyak hewan dan tumbuhan makhluk khas di daerah jadi musnah atau terancam musnah, misalnya harimau, gajah, kera, monyet, trenggiling serta berbagai jenis hewan dan tumbuhan lain. Di pinggir hutan itu pandawa berhenti dan beristirahat. Matanya memandang kedua daerah itu silih berganti. Di satu sisi tanah gersang berbatu, di sisi lain berupa hutan rimba besar.

Para pandawa dihadapkan pilihan sulit, menempati tanah gersang berbatu jelas sulit, mau menempati hutan susah. Mereka berunding dan mohon petunjuk dewa. Akhirnya mereka putuskan membuka hutan Wanamerta untuk dibuat istana, sawah ladang, perkebunan, peternakan, perikanan dan sebagainya.

Suatu hari yang cerah, pandawa berangkat ke hutan Wanamerta yang jauh dari istana Hastinapura. Mereka bawa bekal seperlunya, sebab membuka hutan tentu memakan waktu lama. Mereka bawa pasukan sekaligus sebagai pekerja membuka hutan. Namun bekal dan pasukan jumlahnya tidak banyak.

Menjelang sampai di hutan Wanamerta, perjalanan dicegat resi berujud raksasa. Resi itu mengatakan ingin bertemu Arjuna dan mengajak ke rumahnya. Mengapa resi itu mengajak Arjuna ke rumahnya? Karena mau dikawinkan dengan anaknya wanita remaja.

Arjuna menolaknya. Selain belum kenal, apalagi anaknya, juga dia duga pasti anak resi berujud raksasa seperti ayahnya itu. Resi Wilawuk membujuk agar Arjuna mengabulkan permintaannya. Dia janji membantu pandawa buka hutan Wanamerta sesuai kemampuan. Dia katakan tidak mudah membuka hutan Wanamarta tanpa bantuan, pasti banyak halangan.

Arjuna menolak. Karena Resi Wilawuk tetap memaksa, akhirnya terjadi perkelahian Arjuna lawan Resi Wilawuk. Sekian lama bertempur, ternyata Resi Wilawuk bukan orang sembarangan, dia sakti mandraguna. Akhirnya Arjuna kalah, tubuhnya lunglai dan jatuh. Oleh Resi Wilawuk tubuh Arjuna itu diambil dan dibawa terbang. Di angkasa Resi Wilawuk berkata.

” Dewi Kunti dan para pandawa. Saya mohon maaf membawa paksa Raden Arjuna. Pada saatnya dia akan saya kembalikan. Saya juga berjanji membantu anda semua membuka Hutan Wanamarta”, kata Resi Wilawuk di angkasa. Sejenak dia terbang membawa tubuh Arjuna dan lenyap ditelan awan.

Para pandawa dan Dewi Kunti lanjut ke Hutan Wanamarta tanpa Arjuna. Mereka kecewa, namun Dewi Kunti meyakinkan semua telah diatur dewa. Sesampai di pinggir hutan dan beristirahat, mereka mulai membukan hutan. Pohon2 mulai ditebang, di-potong2 lalu diatur, ditumpuk di suatu tempat. Pekerjaan ini perlu tenaga besar.

 

Para pandawa yang 4 orang dan para prajurit yang dibawa, sulit bisa bekerja cepat. Mengingat satu pohon besar saja perlu setengah hari memotong dengan kampak. Maklum di jaman itu belum ada gergaji mesin. Jadilah mereka bekerja lambat. Hanya semangat tinggi karena mereka punya pandangan jauh ke depan (visi), membuat istana megah dan negara makmur, menjadikan semangat kerjanya  tinggi.

Hari berganti hari, pekerjaan membuka hutan pelan-pelan telah mulai memasuk bagian tengah hutan. Pohon-pohon di sana besar-besar. Sangat cocok untuk dijadikan tiang istana, hanya saja perlu tenaga besar pula untuk memotong dan mengerjakannya menjadi bahan bangunan.

Ketika itu keanehan terjadi. Bima, Puntadewa, Pinten dan Tangsen, dan prajurit2 kadang ada yang mencolek dari belakang. Kadang ada yang memukul dari samping dengan kayu dan benar2 terasa sakit, bahkan paha yang terkena pukulan membiru. Ada yang merasa dijegal ketika berjalan, sehingga jatuh terjerembab ke tanah. Parang dan sabit terkadang hilang tiba2.

Hal2 aneh ini mula2 tidak dirasakan, namun lama2 menganggu. Banyak prajurit ketakutan, ada yang sakit. Maka pekerjaan membuka hutan itu jadi lambat, bahkan menimbulkan tanda tanya bagi mereka. Mau dilanjutkan apa tidak; Bersambung Jum’at depan….. ; (Widartoks 2017; dari grup FB-ILP)- FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close