Iptek dan Lingk. Hidup

Sovereignty Indonesia di Perairan Natuna (FE 049)

Tanggal 22/7/17 pagi di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ada diskusi menarik antara UMY yang dipimpin oleh Prof. Dr. Nurmandi dengan China Institute of Contemporary International Relation (CICIR) Beijing yang dipimpin Prof. Hu Jiping PhD mengenai ketegangan akhir2 ini di Laut China Selatan.

China, negara super Power dengan kekuatan Angkatan Perangnya no. 2 di dunia, GDP lebih dari 9 Trilyun USD serta punya hak veto di PBB, sudah terlalu jauh mengusik di perairan sibuk di kawasan yang kaya sumber daya alam itu. China seakan mengabaikan hasil keputusan sidang Arbitrage International di De Hauge atas claim Philipina, negara dengan GDP tidak sampai 250 Milyar USD.

Diskusi lumayan menarik, namun yang jadi bintang pagi itu presentasi yang komprehensif dari Prof. Patric K.Meyer visiting Professor di UMY yang lama bertugas sebagai akademisi di China. Patric memulai dengan catatan jumlah berita2 tentang Natuna di beberapa koran, lembaga berita dan sos-med di Indonesia sejak 2013 sampai 2016.

Tahun 2013 tidak banyak berita mengenai Natuna, kecuali sedikit berita menyejukkan tentang rencana pemerintah Indonesia menjadikan Natuna sebagai salah satu destinasi wisata. Namun, sejak tahun2 berikutnya, berita2 mulai bernada kekhawatiran.

 

Kapal nelayan China dengan berani, dengan pantauan kapal patrol China memasuki kawasan. Disisi lain berita mengenai ketegasan TNI-AL dan keberanian bu Susi, meledakan kapal2 ex illegal fishing. Akhirnya tahun 2016, rata2  40 berita setiap bulan mengenai ancaman China di perairan sengketa itu.

 

Berita China akan mendirikan basis militer, sedang Jokowi berada di perairan terdepan di anjungan Kapal Perang Indonesia. RI akan memperkuat satuan2 penjaga perbatasan di pulau2 terluar. Patric malah menyebutkan pertanyaannya bukan lagi apakah China akan “mengontrol” perairan Laut China Selatan, namun bagaimana dan kapan China melakukannya.

 

Belanda, 350 tahun menguasai Indonesia, dan hingga kini Belanda masih disukai (like). China yang belum 10 tahun dengan program ambisius Jalan Sutra (Belt Road Initiative, BRI) membantu pembangunan Indonesia sudah tak disukai. China segera kehilangan soft power (diplomasi budaya dan bantuan pembangunan)-nya, terutama akan merembet ke hubungan sosial diantara warga China di Indonesia.

Patrik menyebutkan China sengaja meningkatkan ketegangan di kawasan itu alasan2nya antara lain : China butuh sumber daya alam, kedua, China sengaja mengukur suhu, khususnya menguji sikap AS dalam konflik ini, ketiga, China sengaja menarik perhatian para local China di negara2 Asia Tenggara.

Seperti biasanya tulisan-tulisan Prof.Meyer mengenai China, selalu tajam dan tanpa basa-basi. Silahkan browsing dan menikmati. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR

 

Catatan dan respon dari SSA :

Saya tertarik ungkapan sikap local china khususnya  di indonesia. Terlepas yg ada dihatinya, mereka punya investasi yg tdk sedikit dinegeri ini, tentu ingin terhindar dari aksi “balas dendam pribumi”. Apalagi mereka yg sudah turun temurun ber asimilasi baik hubungan darah dan agama.

Permasalahannya sebagian dari kita memperlakukan mereka dalam kontex kafir non kafir sehingga membuat mereka sampai generasi mudanya tidak sepenuh hati jadi orang “pribumi” Kasus Susi Susanti yg dipersulit ngurus KTP dsb. seolah menghilangkan perjuangannya mengharumkan bangsa ini.

Seandainya kita kompak, tidak terpecah-belah karena egoisme, insya Allah dg bambu runcingpun Allah SWT akan memenangkan kita. Hidup dan jaya NKRI. MERDEKA (Soenarto SA)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close