Iptek dan Lingk. Hidup

Geser Sedikit Mati

Sejak, awal tahun 70an, di kampung halaman (Pulau Rote NTT), jika tak salah masih SMP, ortu sudah pasang telepon di rumah. Waktu itu, jika mau nelpon, harus hubungi sentral, dan sentral yang mengkoneksi dengan telpon yang dituju. Jaman telepon engkol. Jika tersambung, baru bis ber-halo2 ria.

 

Adanya STO (sentral telepon otomatis) dan satelit Palapa, muncul SL (sambungan langsung) tidak putar telpon tapi tekan tombol. Ketika kuliah di Semarang, sebagai mahasiswa paspasan, aku harus bersahabat dengan telepon umum dan Kantor Telkom (Perumtel), untuk interlokal n telegram ke ortu.

Belakangan, ada telepon umum koin, dan telp umum kartu. Dua2nya membantu. Awal 90an ada telepon rumah tanpa sambungan kabel dengan antene. Model ini bernama Ratelindo (kini tidak ada). Jadi ingat diriku termasuk pelanggan2 pertama dengan nomer 912-5764. Sampai Ratelindo lenyap tak ada berita.
Hampir bersamaan dengan Ratelindo, ada starko. Keduanya lenyap, karena ekspansi HP.

Waktu itu Juli 1999, hari pertama masuk office, setelah 2 minggu cuti pulang kampung halaman teman, jual butuh hp miliknya. Alasannya biaya kartu/nelpon mahal dan tak mau terganggu di jalan ketika berkendara. Ia tawarkan hp knya (masih baru), tentu saja maksudnya beli. Kebetulan, aku berencana beli hp, ada tawaran; langsung disambar, dengan 2x kali bayaran.

HP Nokia. Sering disebut nokia pisang atau nokia matrix karena populer setelah film Martrix. Bintang utamanya gunakan hp pisang itu. Punya HP, lalu nomernya !? Perlu ganti nomer atau beli nomer lama!?
Itu terjadi tahun 1999. HP Pisang (second) seharga Rp 1 juta kurang dikit. Nomernya belum ada.

Untuk punya Nomer HP hanya ada dua pilihan – saat itu. Yaitu Telkom/Simpati dan Exelcomindo/XL. Ketika cari Kantor Layanan di Kelapa Gading, bertemu Exelcomindo, langsung masuk ke tempat itu.
Ternyata, proses dapat Nomer HP, rumit. Isi form aplikasi lengkap, foto kopi KTP, dan meterai Rp. 6000. Serahkan HP ke petugas. Dan dia yang pasang. Nunggu sejam untuk aktif atau bisa dihubungi.

Nomer HP ku, yang sejak 1989 sampai kini tetap sama : +0 818 121 64. Cuma 10 digit, disebut nomer cantik. Petugas katakan : “Bapak termasuk pengguna nomer XL yang ke 121 64… di Indonesia..”
Biayanya!? ; Nomer Rp. 110 000. Pulsa Rp. 100.000. dan Meterai Rp. 6.000. Katanta jika nomer hilang atau rusak, maka bisa diganti nomer yang sama. Tarifnya Rp. 35 000.-

Setelah bisa dihubungi (dengan bangga he he he he he), coba hubungi ke office, dan mau nyombongin punya HP (wk wk wk wk wk wk), sambil jalan keluar area Exelcomindo di Mall Kelapa Gading.
Apa yang terjadi..? Belum 50 kali melanglangkah, HP langsung bunyi: Tu la lit.. , Tu la lit.. Tu la lit..

Terpaksa kembali ke Layanan Exelcomindo -sambil cerita masalah yang menimpa HP-ku. Petugas, dengan senyum, berkata plus menjelaskan: ” Usahakan saat komuniaksi, bapak diam atau tak berjalan”
Kutanya, alasanya? Ia jawab: “Kami istilahkan GSM. Geser Sedikit Mati. Tapi kami akan meningkatkan kualitas layanan untuk kenyamanan bapak. Dengan selalu menambah jumlah BTS..”

Meski begitu – saat itu aku sudah cukup puas dengan layanann dan penjelasannya. Pada awal-awal muncul HP, sampai 99/2000/2001 – menggunakan HP perlu posisi ketika mau nelpon. Sehingga ada anekdot. Di samping, geser sedikit mati, ada kata2: “kualitas – mutu -kejelasan suara tergantung posisi.”

Dan memang pada waktu itu, jika mau nelpon dengan HP, maka perlu kita geser ke ruang terbuka atau di luar ruangan – supaya bisa lebih jernih atau baik kualitas suranya. (Agus Suryono; sumber Oppa Jappy)

Monggo lengkapnya klik aja :  (https://www.kompasiana.com/jappy/hp-perdana-geser-sedikit-mati_5528c3b36ea834413d8b45ba)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close