Kesenian Jemblung
Apa kira2 kenal ya, lawakan Banyumasan, namanya Jemblung Pemainnya 4 orang, biasanya membawakan cerita Panji. Khasnya, mereka ya dialog sesuai peran masing2, sekaligus menirukan alat gamelan (musik). Kalau dipadukan jadi mirip orkestra gamelan jawa.
Satu diantara mereka jadi dalang merangkap pe nyuara kendang, tung tung pak blek. Sepanjang cerita, ada dialog lucu : Tak pateni, jleb
Lawannya jawab, mati aku.
Kidalang terus nyaut, husy, kalau mati jangan ngomong. Wah semalam suntuk mereka ngelawak, persis orang gemblung yg membuat penonton ter-pingkel2. Itulah kesenian JEMBLUNG. (Soenarto SA; dari grup WA-VN)-FR
Berikut sajian informasi tentang Jemblung dari sumber berbeda :
Dagelan salah satu akar tradisi bagian dari karakter/watak wong Banyumas. Tradisi ini melengkapi karakter : Cablaka (transparan), apa adanya, egaliter, dan glogok sor atau suka umbar ukara (ucapan). Dagelan salah satu sastra lisan tertua di Banyumas, di samping Dalang Jemblung.
Seni Dagelan setali tiga uang dengan seni Dalang Jemblung. Keduanya nyaris punah oleh modernisasi. nDagel artinya melucu, sehingga Dagelan diartikan lelucon / tingkah mengundang tawa. Dagelan jadi fragmen yang ditunggu di pentas Pakeliran Gragag Banyumasan. Dagelan bisa dipentaskan terpisah “dari pertunjukan wayang” berbntuk tunggal seperti seni Ludruk di Jatim atau Lenong di Betawi.
Seni Dagelan mengalami keemasan pada 1990an. Saat itu di Banyumas ada grup Dagelan melegenda. Grup lawak “Peang-Penjol dan Suliyah”, banyolan atau lawakannya tokoh Peang-Penjol dan Suliyah ini memainkan karakter wong Banyumas asli. Karakter yang melekat pada tokoh Bawor ikon masyarakat Banyumas yang biasa muncul dalam seni Pakeliran Banyumasan.
Baik Peang-Penjol-Suliyah dan Bawor itu metafora, sublimasi kondisi masyarakat. Humor2 itu mengalir tanpa beban dari tokoh2 itu. Dengan dialek-Banyumas-ngapak-yang kental, isu2 kontemporer jadi bahan lawakan. Isu2 sosial yang terjadi diramu dan ditanggapi cablaka dalam perspektif Banyumas. Yang timbul bukan sekadar kelucuan, tapi terkandung wacana kritis, pendidikan moral, dan nilai2 kearifan lokal.
Relijiusitas
Yang ditontonkan guyonan mengundang tawa dan pendidikan budi pekerti yang disampaikan secara segar. Dagelan itu seni mengkritik, mengingatkan, mendidik, menerjemahkan / mengejawantahkan perilaku pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.
Religiositas menjiwai dagelan. Meski vulgar, tanpa tedeng aling2 dan cenderung kasar, tapi lakon2 yang diperankan memuat nilai2 religious. Religiositas ini diadaptasi dari religiosity dalam The World Book Dictionary, (religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan). Perasaan keagamaan meliputi perasaan batin berhubungan dengan Tuhan (takut berbuat dosa, perasaan jujur dsb).
Bentuk2 kritik dalam dagelan merupakan religiositas. Sindiran2 atau humor satir yang dituturkan dalam dagelan itu religiositas. Lantaran hakikatnya dagelan mengajarkan moral sambil menghibur, mengkritik tanpa menyakiti, mendidik dengan senyuman. Puncaknya, dagelan itu tanpa disadari tengah mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri.
Di kehidupan se-hari2 wong Banyumas kontemporer, seni tradisi ndagel ini luntur. Telah kehilangan gereget dan rohnya, telah kehabisan momen untuk tampil. Faktor penyebabnya dua. Pertama hadirnya humor2 populer yang menyerbu ke ruang2 pribadi keluarga (TV). Kedua, makin mengecilnya frekuensi dan ruang publik untuk pementasan seni hiburan rakyat.
Faktor pertama ini jelas hubungan dengan industri hiburan (entertainment) dan kepemilikan modal. Yang kuat untuk meminimalkan penguasa (pemerintah) melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Atau kekuatan (pemilik modal) lain yang seimbang, beriktikad baik mendidik melalui tayangan edutainment.
Atau tayangan sepadan, tapi menonjolkan moralitas ketimbang lucunya. Minimnya tayangan hiburan berunsur pedidikan ini jadi alasan pentingnya revitalisasi seni tradisional seperti dagelan di Banyumas.
Revitalisasi
Mengatasi faktor kedua, dimulai oleh lembaga pemerintahan dan swasta. Misal mengundang grup dagelan pengisi acara hiburan dalam perayaan HUT lembaga, pisah-sambut pejabat, silaturahmi, atau momen lain digelarnya hiburan.
Artinya, lembaga2 itu rela dicap sedikit jadul dengan menyuguhkan seni ini. Lembaga juga harus rela menahan sedikit hasrat menampilkan hiburan yang lebih modern, seperti panggung karaoke, organ tunggal, dan band. Atau mengolaborasikan dua jenis hiburan itu dalam satu panggung.
Jika lembaga2 resmi itu memberi contoh menghidupkan kembali seni tradisi yang nyaris punah, maka masyarakat termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat berpikir untuk menggelar pertunjukan dagelan pada acara hajatan daripada mengundang pemain organ tunggal.
Pola semacam ini revitalisasi seni tradisional dapat berjalan dan nilai2/pesan moral (religiositas) yang dapat disampaikan. Sehingga, masyarakat dapat hiburan segar dan dapat pendidikan moral. (Teguh Trianton; Peminat Seni, Staf Edukatif SMK Widya Manggala Purbalingga)
Monggo lengkapnya klik aja : (http://properti.kompas.com/read/2009/04/17/01432975/revitalisasi.dagelan.banyumas)-FatchurR