Psikologi

Competition vs. Cooperation

Bagus untuk anak2/ cucu2 kita : Jumat lalu kedua anak saya menerima Report Card dari sekolah Ronald Reagan Elementary School. Di Indonesia namanya rapot. Melihat keduanya dapat nilai yang sangat bagus tapi tidak tercantum info tentang rangking, saya tergoda bertanya ke salah satu gurunya. “Anak saya ranking berapa, Ms. Batey ?”

“Kenapa Anda orang Asia selalu nanya gitu ?”, jawabnya. (Weleh, salah apa ane gan, batin saya.) “Anda sangat suka sekali berkompetisi. Di level anak Anda, tidak ada rangking2an. Tidak ada kompetisi. Kami mengajari mereka tentang cooperation alias kerjasama. Mereka harus bisa bekerja dalam team work dan mereka harus bisa cepat bersosialisasi dan beradaptasi. Mereka harus punya banyak teman.

Lebih penting bagi kami untuk mengajari mereka story telling dan bagaimana mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa yang terstruktur dan sistematis. Kami mengajari mereka logika dalam setiap kalimat yang mereka ucapkan.”
(Dari sini rupanya kenapa temen2 saya di kantor mentalnya ”How can I help you”, hampir ga pernah saya liat jegal-jegalan. Dan di US, hampir semua profesi mendapatkan penghasilan yang layak, tidak harus semua jadi “dokter” seperti di Indonesia.

Semua orang boleh cari penghidupan sesuai passionnya, sehingga semua bidang kehidupan berkembang maju karena diisi orang2 yang bekerja dengan gairah. Saya jadi ingat, pendidikan di negeri saya sangat kompetitif. Banyak ortu yang narsis memajang prestasi anak2nya di sosmed. Tanpa disadari sebagian dari mereka nanti tumbuh jadi orang2 yang terlalu suka berkompetisi dan lupa bekerjasama.

Kiri kanannya dianggap saingan dan dirinya harus menjadi yang terbaik. Mending kalo dia mengembangkan dirinya supaya menang persaingan, yang ada kadang mereka menunjukkan baiknya dirinya dengan cara mengungkapkan jeleknya orang lain. Kalo bukan kita siapa lagi, begitu jargonnya…Wuih, betapa arogannya, seakan-akan yang lain tidak mampu dan hanya dia yang mampu. Sakit mentalnya…

Bapaknya yang berkesempatan sekolah di sekolah2 yang konon terbaik di tanah air sebenarnya juga pernah kena sindrom yang sama. Bagaimana tidak ???Setiap hari dicekoki bahwa Anda putra terbaik bangsa, calon pemimpin masa depan dll selama bertahun-tahun.

Tidak perlu saya cerita gimana yang Maha Kuasa memberikan tamparan bertubi-tubi di awal-awal masa kerja, supaya saya tidak terlalu jauh tersesat.

Aku menang, aku menang. Begitu suara anak2 dari sebuah gang di ibukota. Entah mainan apa yang dimenangkan. Kapan dia sadar, hidup bukan melulu soal menang dan kalah. (Koes Pardiyono; sumber : Bakersfield, Feb 2016.; https://mail.google.com/mail/u/0/#category/social/152a6343ba372946)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close