Iptek dan Lingk. Hidup

Sulawesi Selataan dihuni sejak 200.000 tahun lalu

KOMPAS.com-Penemuan yang dipublikasikan di jurnal Nature pada (14/1/16) memberi pencerahan tentang sejarah pendudukan Sulawesi. Homo sapiens, diperkirakan sampai di Sulawesi 50.000-60.000 tahun lalu di Sulawesi setelah bermigrasi dari Afrika bukan manusia pertama pulau itu. Sulawesi pernah dihuni manusia purba. Jejaknya berupa alat batu kuno yang berumur maksimal hampir 200.000 tahun.

Temuan alat batu kuno
Cerita penemuan alat batu purba itu bermula dari survei di Talepu yang dilakukan Anwar Akib dari Dinas Purbakala Sulawesi Barat dan Gerrit van den Bergh dari University of Wollongong di Australia. “Ada pembuatan jalan baru dan saya berjalan kaki bersama Akib ketika kami temukan bebatuan di timbunan,” kata Van den Bergh seperti dikutip Australia Plus, Kamis lalu.

Tahun 2009 hingga 2012, Van den Bergh melakukan penggalian lanjut di Talepu. Hasilnya, dia dan timnya menemukan 200 artefak alat batu. Setelah penggalian, dengan bantuan Dr Bo Li dari University of Wollongong, Van den Bergh melakukan penanggalan pada alat batu itu. Usia alat pun terungkap.

“Kebanyakan artefak terjadi antara 85.000 sampai 118.000 tahun, tetapi tiga meter di bawah tingkat 118.000 tahun, kami masih menemukan artefak batu lainnya,” jelas Van den Bergh. Alat batu tertua berusia 194.000 tahun.

Jenis manusia purba apa?
Teori yang berkembang menyebutkan Sulawesi dihuni manusia sejak 60.000 tahun lalu. Gambar cadas di Liang Timpuseng tahun 2014 terungkap berusia 39.900 tahun memberi petunjuk pendudukan H. sapiens. Peneliti Badan Geologi dalam riset alat batu tua di Talepu, Iwan Kurniawan, mengungkapkan dengan usia lebih dari 100.000 tahun, tak mungkin alat batu di Sulawesi dibuat manusia modern.

“Manusia modern paling tua ditemukan di Wajak, 60.000-40.000 tahun. Alat batu di Sulawesi pembuatnya manusia purba,” katanya kepada Kompas.com (16/1/16). Masih sulit menentukan jenis manusia purba yang membuatnya. “Kami belum menemukan fosil yang bisa memberi petunjuk”.

Erick Setiabudi, peneliti Badan Geologi lain yang terlibat, mengungkap manusia purba yang membuat alat batu itu berkerabat Homo floresiensis, manusia kerdil dari Flores. Riset alat batu dari Sulawesi ini bagian dari kerja sama Badan Geologi dan University of Wollongong.

 

Selain di Sulawesi, kerja sama dilakukan pada riset H. floresiensis di NTT. (Yunanto Wiji Utomo; http://sains.kompas.com/read/2016/01/18/16530741/Terungkap.Sulawesi.Dihuni.Manusia.sejak.200.000.Tahun.Lalu)-FatchurR

————

 

Sajian tekno lainnya :

  1. Enerji Thorium belum dikomersialkan
  2. Fasilitas iradiator merah putih akan dibangun

————

 

Enerji Thorium belum dikomersialkan

Enerji Thorium belum dikomersialkanJakarta – Pemanfaatan thorium untuk energi masih panjang. Meski penelitian thorium dilakukan di berbagai negara, tapi belum ada yang penuh mengaplikasikan secara komersial. Pakar International Atomic Energy Agency (IAEA), Matt Krause, berpendapat, dari sisi fisik thorium jauh lebih bagus dari uranium. Potensi thorium di dunia bisa 3-4 kali lipat dari uranium.

 

“Namun thorium bukan fisil yang bisa membelah dan butuh neutron. Karena titik leburnya tinggi ada kerumitan sifat kimia tapi sifatnya lebih stabil” katanya (4/2). Jika dikombinasi uranium kemanfaatannya thorium lebih lama. Tapi banyak tantangan yang harus dipecahkan. Aspek keselamatan bergantung teknologinya. Aspek keamanan dan keselamatan merupakan hal utama yang IAEA tekankan.

 

Pembangkit listrik berbahan bakar thorium dikembangkan 1965 oleh Glen Seaborg di Oak Ridge National Laboratory, AS dengan memanfaatkan thorium cair. Setelah beberapa tahun pengoperasiannya dihentikan. Tahun 1967 Jerman mengembangkan teknologi yang sama dan diikuti India. Selanjutnya Tiongkok dan Jepang ikut mengembangkan pembangkit listrik tenaga thorium.

 

Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, butuh beberapa dekade sampai pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium terwujud. Djarot berpendapat, yang perlu dibangun adalah infrastruktur pendukung, termasuk bagaimana melakukan fabrikasi serta siklus daur ulang bahan bakarnya.

 

“Tugas Batan adalah meneliti dan mengkaji kegiatan tersebut. Reaktor Daya Eksperimental menjadi jembatan penelitian thorium, sebelum implementasi secara komersial,” ucapnya. (Ari Supriyanti Rikin/FER; Suara Pembaruan dan http://www.beritasatu.com/iptek/347237-energi-dari-thorium-belum-dikomersilkan.html)-FatchurR

———–

 

Fasilitas iradiator merah putih akan dibangun

Fasilitas iradiator merah putih akan dibangunJakarta – Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) segera merealisasikan pembangunan fasilitas iradiator di kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang. Fasilitas ini akan diberi nama iradiator Merah Putih. Ini ditandai penandatanganan kontrak pembangunan konstruksi antara Pusat Rekayasa Fasilitas Nuklir (PRFN) Batan dengan PT Adhi Karya Tbk, pemenang lelang pembangunan iradiator.

 

Kepala PRFN Batan Ferly Hermana mengatakan pembangunan iradiator Gamma Merah Putih dimulai dengan pembukaan lahan pada awal Februari 2016 dan perkiraan peletakan batu pertama Maret 2016. “Pekerjaan 24 bulan, diharapkan selesai akhir 2017,” katanya, (1/2). Sasaran pengguna iradiator ini selain Jabodetabek bisa dari mana saja asal masih terdapat alokasi waktu yang tersedia.

 

“Produk yang paling banyak di irradiasi adalah rempah2 (herbal), sterilisasi alat kesehatan dan makanan dalam kemasan,” ucapnya. Ia melanjutkan lama iradiasi bergantung dari besarnya sumber radiasi. Untuk pengawetan makanan dan sterilisasi alat butuh waktu lebih lama. Sedang sayuran dan buah2an lebih cepat. Proses iradiasi satu produk, yakni 1 kali batch atau satu kali proses dari awal hingga selesai iradiasi sekitar 60 menit. Proses iradiasi makanan, hanya satu jam untuk 72 boks ukuran 0,5 m3.

 

Pembangunan iradiator berkapasitas maks 2 mega curie (Mci) dan biayanya diperkirakan Rp 80 miliar dengan kandungan komponen lokal 85%. “Hanya komponen terkait dengan keselamatan radiasi yang didatangkan dari luar negeri, mengingat komponen ini tidak diproduksi di Indonesia,” ucapnya.

 

Pembangunan fasilitas ini didasarkan pada kenyataan bahwa hasil produk pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan di negeri ini sangat melimpah, namun sebagian besar produk tersebut mempunyai sifat yang mudah busuk atau rusak.

 

Hal ini sering kali menyebabkan produk tersebut sampai kepada konsumen dalam kondisi yang busuk atau rusak. Untuk mengatasi masalah ini, Batan menawarkan solusi strerilisasi dan pengawetan dengan membangun iradiator.

 

Iradiator adalah fasilitas nuklir memanfaatkan radiasi sinar gamma untuk berbagai keperluan, di antaranya, sterilisasi dan pengawetan bahan pangan, obat, dan alat kesehatan. (Ari Supriyanti Rikin/YUD; Suara Pembaruan dan http://www.beritasatu.com/iptek/346206-batan-akan-bangun-fasilitas-iradiator-merah-putih.html)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close