Psikologi

Berbagi itu indah

Suatu hari di warung sederhana, di Kepatihan Wetan, Solo, aku mengamati dialog  : ‎

“Gratis Mbok?“ si Parjo bertanya heran.

“Ya , kenapa? makan aja apa yg kamu suka.”

 

“Wah,  terimakasih mbok…terimakasih…”

‎Si Mbok tersenyum memperhatikan Parjo, langganannya yg biasa berhutang di warungnya. Kini dia santap makanan dg lahapnya. Mungkin pria itu menikmati makanannya dg tanpa beban. Keringat meleleh di keningnya.

 

“ Jo…“

“Ya, Mbok. Ada apa? apa ini guyonan Mbok?” Parjo melongo bingung dan mulut yg masih terisi nasi.

Tapi si mbok tetap tersenyum. “Ini catatan Bon kamu ya. ? tanya si Mbok dg tersenyum.

“Ya Mbok. Tapi aku ndak ada duit sekarang.”

 

“Ya, aku tahu. Kamu selalu ndak ada uang akhir2 ini. Ok bon kamu aku hapus..“  jawab simbok.

“ Hapus?“ teriak Barjo dg bengong.

“wah,  lelucon apa ini. Jangan bikin aku jantungan. Gratis saja aku bingung, lah bonku malah dihapus“

“Ya ..kamu ndak perlu jantungan. Terima aja. Aku senang kok” Jawab simbok.

 

Hari itu ada 40an orang makan di warung mbok Mijah. Mereka : Supir angkot, tukang becak, pemulung, pedagang asongan, pengamen jalanan dan tukang minta2 yg biasa nongkrong di sudut jalan. Semua menikmati dg gratis. Sebagian yg punya hutang dihapus. Kebahagiaan terpancar diwajah si Mbok.

 

Pemandangan tsb  aku saksikan sambil asyik menikmati es teh manis. Mereka yg datang seakan tidak memperdulikan ku. Tapi tidak ada satupun ekspresi wajah dari mereka yg luput dari perhatianku. Hari itu aku sengaja datang ke warung si Mbok langgananku ketika aku mahasiswa dulu. Si Mbok hampir tidak percaya ketika aku datang.‎

“Maksud mas?“ Tanya siMbok dg sedikit terkejut.

“Ya Mbok. Aku ingin tahu berapa jumlah penjualan Si mbok bila seluruh makanannya habis terjual.”  tanyaku tanpa peduli keterkejutannya.‎

‎“400 ribu rupiah, Den. Tapi tidak semua simbok terima karena sebagian dihutangin”

 

“ Baik. Berapa jumlah catatan hutang dari semua pelanggan si Mbok“  tanyaku lagi.

“ Ada Rp. 700 ribu” jawabnya lagi tapi masih bingung.

“Oke Mbok. Nah ini saya beri uang Rp. 1.500.000.“ kataku sambil memberi uang itu kepadanya.

“Oh.. Untuk apa ini Den?” Sekarang benar2 bingung dia.

“ Aku ingin memberi uang ini ke Si Mbok. Karena dalam keadaan sulit siMbok bisa berbuat baik. Simbok bisa ngutangin orang yg butuh makan walau simbok tidak tahu kapan orang itu akan membayar.” Sambil memperhatikan wajahnya yg berseri kebingungan, kupegang tangannya dan menyerahkan uang itu.

‎“Nah, apa yg akan siMbok lakukan dengan uang ini?” sambung ku.

“SiMbok ingin memberi kesempatan pelanggan2 makan gratis hari ini. Menghapus semua hutang2”.

‎“Mengapa?“. Sekarang gantian aku yg bingung.

‎“Simbok orang miskin dan pengen bersedekah tapi ndak bisa. Wong hidup juga sulit begini.” Katanya.

******

 

Ketika senja beranjak malam. Aku melangkah menjauhi sudut jalan itu. Di mobil aku termenung. Selama ini kita begitu hebatnya menggunakan retorika, kita peduli si miskin. Kita marah pada ketidak-adilan. Tapi kita tidak berbuat banyak. Tapi sebetulnya kehadiran Allah tetap ada di lingkungan simiskin.

Dengan kesahajaan dan caranya, mereka berbagi untuk saling peduli. Itu…

Negeri ini kuat karena rahmat Allah yg meniupkan pesan cinta ke hati siapapun utk saling berbagi.

Masalahnya ada yg bisa baca pesan itu dan ada yg tidak membacanya. Si Mbok ini contoh pesan cinta Allah dibacanya dg baik, walau sedikit yg  dia punya itulah yg dia bagi… dan dia bahagia karena itu…

 

Saudaraku…‎

Cinta selalu menyehatkan dan menentramkan walau harus dg memberi sesuatu pada waktu yg bersamaan diri sendiri juga membutuhkannya. “Berbagi tidak harus menunggu kaya.” (Prasetya B Utama; sumber dari K Ebuka)

 

Bahan dari :  (https://plus.google.com/105769663089179593630/posts/R1rBsrGYdEW )-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close